TANGERANG- Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang menyelenggarakan seminar nasional bertajuk Kebhinekan sekaligus bedah buku ‘Miqat Khebinekaan’ karya Sekretaris Jenderal PBNU H. A. Helmy Faishal Zaini. Hadir sebagai narasumber penulis buku Sekretaris Jenderal PBNU H. A. Helmy Faishal Zaini, dan pembedah Ketua MUI Tangerang KH. Edy Junaedi Nawawi dan Penerbit Emir.
Dalam kesempatan tersebut Kang Helmy-sapaan akrab Sekjen PBNU- mengatakan kondisi kemajemukan dan keberagaman yang ada di Indonesia berjalan harmoni karena metode ajaran kiai NU yang bijak bestari. Dalam mengajarkan islam para ulama NU tidak menggunakan senjata.
“Dahulu ada warga yang memasang sesajen di pojok rumah atau pohon besar, secara perlahan ulama dahulu tidak langsung melarang dan menuding haram. Tapi diajak secara bertahap memasak potong kambing, masak nasi dan mengundang tetangga untuk berdo’a akhirnya dijadikan tradisi selamatan,” tutur Kang Helmy memaparkan inti buku Miqat Kebhinekaan di Aula Kampus STISNU, Tangerang, Selasa (17/4).
Selain itu, lanjut Kang Helmy umat muslim yang mayoritas di Indonesia tidak berlaku semena-mena bahkan ikut melestarikan rumah ibadah agama lain. “Contoh Candi Borobudur tempat ibadah agama Budha salah satu yang besar di dunia, Candi Prambanan umat Hindu dan terhadap masyarakat di Bali tidak mengusik,” imbuh Kang Helmy.
Kang Helmy menceritakan PBNU sejak muktamar Jombang banyak tamu dari luar negeri dengan berbagai latar mulai dari peneliti, media dan duta besar. Mereka, lanjutnya mempertanyakan resep menjaga keutuhan Indonesia yang keberagaman lebih komplek dibanding dengan negara lain tapi bisa bersatu.
“Resepnya karena NU mengamalkan konsep tiga ukhuwah yakni ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah insaniyah/bashariyah. Konsep yang tidak lepas dari kiai kharismatik alm. KH. Achmad Siddiq, beliau pernah menjadi Rois Aam PBNU berduet dengan alm. Gus Dur,” tegas Kang Helmy.
Sementara pembedah KH. Edy Junaedi menuturkan bahwa keberagaman Indonesia adalah rahmat. Bagaimana mengelola persatuan dari Aceh hingga Papua yang memiliki luas hampir 12 juta hektar.
“Berbagai macam suku, agama, bahasa tapi bisa bersatu, ini kita bhineka. Kalau dipikir Sunda Banten dengan Sunda Sukabumi dan Bogor dialeknya berbeda padahal sama Sunda tapi bisa bersatu karena ada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945 (PBNU),” jelas kiai Edy.
Hadir civitas akademika STISNU dan ratusan mahasiswa STISNU mengikuti seminar kebhinekaan. peserta tampak antusias dan khusyuk menyimak pemaparan narasumber.