Jakarta- Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan pertama yang penegasan komitmen politiknya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diakui sejarah. Dalam salah satu keputusan resminya pada forum Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU memformalkan komitmen kenegaraan ini melalui sebuah pernyataan sikap bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final. Ya, final sebagai suatu konsep negara-bangsa.
Sikap politik ini memiliki landasan historis, dimana NU ikut terlibat langsung dalam perjuangan panjang merebut kemerdekaan Indonesia. Landasan detail mengenai komitmen politik kenegaraan NU ini bisa dikaji dan ditelusuri pada proses dan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim-Ulama NU pada tahun 1983.
Munas Alim-Ulama pada beberapa kali penyelenggaraan sekaligus menjadi forum pematangan ide-ide strategis sebelum dibahas lebih lanjut di forum yang lebih tinggi yaitu Muktamar NU. Seperti apa background sikap fundamental NU tersebut, berikut wawancara AULA dengan KH. Masdar Farid Mas’udi, salah satu tokoh NU yang ikut terlibat langsung dalam “Majelis 24”. Majelis 24 ini berperan penting dalam persiapan penyelenggaraan Munas Alim Ulama NU 1983 di Situbondo. Melalui inisiasi 24 orang intelektual dan aktivis muda NU (Majelis 24) inilah kemudian dibentuk tim tujuh yang bertugas merumuskan langkah-langkah menuju pemulihan khittah NU. Berikut petikan wawancaranya:
Seingat Kiai waktu itu seperti apa situasi politik internal-eksternal NU sebelum dan menjelang Munas Situbondo?
Saya sudah banyak lupa. Tapi internalnya, waktu itu sebenarnya bagaimana pengaruh pak Idham ya, yang sedemikian kuat terutama melalui jaringan luar Jawa yang memang bisa dimainkan ya. Itu bagaimana bisa dinetralisir. Karena tuntutan sejarah memang harus ada swifting paradigm, NU yang semula menjadi organisasi yang heavy politic, terutama politik yang lebih menjustifikasi maunya penguasa menjadi suatu kekuatan independen. Dalam bahasa populer waktu itu menjadi kekauatan civil society, kira-kira begitu. Yang lebih dekat dengan apa yang menjadi aspirasi rakyat di bawah, bukan lagi menjadi faktor kekuatan legitimasi dan justifikasi terhadap agenda-agenda kekuasaan. Jadi memang ada ketegangan yang cukup tinggi antara yang pro kekuasaan dengan yang pro masyarakat sipil itu sendiri, yang pro masyarakat bawah.
Gus Dur sebagai pembawa suara alternatif yang membawa aspirasi masyarakat arus bawah memang mengalami hambatan tantangan yang cukup berat. Karena itulah kenapa kemudian ketika kiai-kiai sepuh bisa diyakinkan tentang perlunya kita mengambil jarak yang sehat dengan kekuasaan, bukan apriori dan bukan melawan, tetapi kita lebih dekat dengan ummat ya. Masyarakat dengan grassrootnya kira-kira begitu. Dan Gus Dur menjadi lambang dari paradigma itu. Dan oleh karena itu maka kekuatan NU dan pengurus-pengurusnya yang masih hidup dalam nuansa NU sebagai kekuatan politik itu tentu melakukan resistensi. Oleh karena itulah kenapa memang ada ketegangan yang cukup tinggi. Bahwa kemudian akhirnya kekuatan reformasi itu terjadi, ya karena kiai-kiai sepuh ternyata bisa memahami perubahan paradigma itu dan saya kira tidak merupakan hal yang aneh karena jargonnya kiai sebenarnya kan khotibul ummah kan gitu. Jadi pelayan ummat. Jadi kalau disentuh kepentingan ummat itu akan jauh lebih efektif. Bahwa penguasa tidak harus dimusuhi itu iya. Penguasa ya didampingi tetapi secara kritis. Pada saat-saat agenda kekuasaan perlu didukung ya didukung pada saat agenda kekuasaan itu perlu dikritisi ya dilakukan pendekatan kritis tapi tentu dengan adab dan tatakrama yang sesuai dengan tatakrama pesantren, kan gitu.
Terhadap penerapan asas tunggal Pancasila sebagai agenda terbesar kekuasaan saat itu, pendekatan kritis seperti apa yang dilakukan NU?
Ya oleh karena itu kita menyiasatinya tidak dengan mengiyakan begitu saja tapi ada tawar-menawarnya juga. Dalam pengertian kita Pancasila sebagai suatu commander matter yang kita pahami dalam perspektif kebangsaan keummatan dan kerakyatan. Karena Pancasila kan juga bisa jadi jargonnya kekuasaan tapi juga bisa menjadi rujukan dan pegangannya rakyat. Tergantung dari mana perspektif yang kita pakai. Kalau penguasa menggunakan Pancasila bisa menjadi legitimasi terhadap apa yang mereka lakukan. Tapi jika rakyat yang menggunakan Pancasila ya bisa menjadi faktor paradigma kritis untuk menagih janji kekuasaan bahwa kekuasaan itu janjinya adalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena sebenarnya strukturnya kan begitu. Ketuhanan kan basis spritualitasnya, kemanusiaan kan basis moralitasnya, kebangsaan basis nasionalitasnya, kemudian kerakyatan yang dipimpin itu kan acuan proses pengambilan keputusannya kan demokratis. Tapi muara dari semua sila-sila yang empat itu sebenarnya adalah yang kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nah, itu Pancasila diamalkan atau tidak, tidak cukup dilihat dari sila kesatu kedua ketiga, keempat, tapi muaranya harus betul-betul terukur gitu lho sebenarnya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan demokrasi itu bisa menjadi omong kosong kalau tidak bermuara pada keadilan. Persatuan juga tidak mungkin terwujud kalau tidak ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemanusiaan juga omong kosong, ketuhanan hanya retorika kalau tidak dituangkan dalam keadilan, itu. Jadi kita menggarisbawahi Pancasila sedemikian penting tapi dalam pemahaman sebagai tugas yang muaranya dalam hiudp bernegara adalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terkait konflik kelompok Situbondo dan Kelompok Cipete, keduanya kan punya sikap yang sama soal Pancasila. Itu bagaimana duduk perkaranya?
Kita anggap itu sudah lebih dari cukuplah karena itu merupakan kesepakatan dasar umum. Kalau kiai-kiai sudah memahami seperti itu sudah luar biasa. Tapi ya sedikit lebih elaboratif keputusan muktamarnya.
Apakah keputusan menerima Pancasila sebagai asas tunggal bisa dimaknai sebagai strategi dan negosiasi agar pemerintah tidak terlalu represif ketika NU akan keluar dari ranah politik praktis?
Ya memang kita menerima Pancasila itu ada pada tataran prinsipilnya. Secara prinsipil memang nilai-nilai Pancasila luar biasa. Tapi juga ada target dan output pragmatisnya bahwa kita bisa tetap menjadi bagian dari kehidupan berbangsa yang tidak harus bermusuhan dengan kekuasaan. Jadi kita bisa duduk bersama. Karena dengan penguasa kita sama-sama punya platform yang sama. Yaitu asas tunggal Pancasila. Tapi kita jadikan Pancasila bukan hanya sebagai justifikasi terhadap kekuasaan tetapi juga alat untuk menagih kekuasaan juga. Jadi dengan kata lain kita menggunakan Pancasila dengan dua sudut pandang tadi. Pertama di satu pihak memang bagian dari melegitimasikan kekuasaan yang masih mengaku setia pada Pancasila sekaligus kita menggunakan Pancasila sebagai basis moral dan politik untuk menagih apa yang seharusnya dibayar oleh penguasa oleh negara yaitu keadilan.
Soal keputusan khittah NU untuk tidak lagi berpolitik praktis, menurut kiai masih relevan tidak keputusan ini?
Saya bisa menggunakannya kita tidak lagi berpolitik praktis, dalam arti untuk memperebutkan kekuasaan. Itu sudah bukan lagi menjadi agenda NU. Tapi kita tetap komitmen untuk politik kerakyatan dan kebangsaan. Apa maksudnya politik kerakyatan, bahwa kita akan tetap mengusung agenda politik dalam rangka men-drive negara, menagih negara juga, agar terus menerus komitmen bahwa kerja negara tidak lain adalah untuk menyejahterakan rakyat. Tapi kita juga punya politik kebangsaan bahwa agenda apapun yang kita usung, terutama juga agenda kerakyatan, juga tidak boleh mengganggu keutuhan NKRI dari Sabang sampai Merauke. Harus utuh. Kita sebagai bangsa harus utuh. Meskipun kita sadar bahwa bangsa Indonesia ini begitu plural. Baik dari sukunya, bahsanya, keyakinannya, tradisinya, dan agamanya. Itu memang tidak sederhana. Tidak ada bangsa yang se plural Indonesia dari mulai suku, etnis, keyakinan, budaya, agama, dan geografis. Geografis itu juga melengkapi bobot pluralitas negara ini. Karena meskipun secara sosial budaya bhinneka tapi kalau wilayahnya satu kan lebih gampang menyelesaikan konflik kan. Kita sudah agamanya begitu banyak, budayanya begitu beraneka, bahasanya, tradisinya, tapi plus secara geografis yang terpisah-pisah itu juga jauh lebih rentan. Tidak ada bahasa yang se rentan Indonesia dari sudut perpecahan, kalau mau pecah lho ya. Alhamdulillah berkat perjuangan kita semau terutama mayoritas umat Islam, dan mayoritas umat islam itu adalah NU, komitmen dengan keutuhan NKRI. Saya kira NKRI ini utuh ya memang kuncinya umat Islam sebagai mayoritas. Kalau kita lihat umat islam yang mayoritas yang mayoritas ya NU. jadi juru kunci keutuhan ya NU itu. Dan kenapa NU bisa begitu ya karena kita memegangi pemahaman Islam yang shoft, yang tawassuth, yang moderat, tidak ekstrem, dan juga menghargai kekayaan nilai-nilai lokal.
Jadi kalau bicara politik kenegaraan, idealitas konsep khittah NU 1926 menurut kiai bagaimana?
Yang mendasar ya komitmen pada keutuhan NKRI itu. Sekali lagi bahwa betapa rentannya bangsa ini untuk berkeping-keping. Karena tidak ada bangsa yang terdiri dari jumlah suku yang begitu banyak seperti Indonesia. Semua agama-agama di dunia ada di Indonesia. Bahkan agama-agama lokal yang tidak ada di tempat lain ada di Indonesia. Kalau tidak ada mayoritas di negeri ini yang siap untuk menopang kebhinnekaan, dan mayoritas itu adalah Islam, dan simbolnya ada pada NU, ya pasti habis negeri ini berkeping-keping. Meskipun dalam berbagai hal kita belum merasa puas berkontribusi pada negeri ini, saya kira kontribusi NU yang tidak bisa dilupakan oleh siapapun karena kita menjaga Islam yang santun, dan memahami perbedaan. Baik perbedaan keyakinan maupun perbedaan-perbedaan etnik dan budaya.