JAKARTA- Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah menggelar serial halaqoh kebangsaan untuk mendiskusikan kondisi kekinian Indonesia. Serial pertama digelar di Perpusatakaan PBNU, Jakarta, Jumat (19/5) siang.
Hadir sebagai pembicara Sekretaris Jenderal PBNU, DR. H. A. Helmy Faishal Zaini dengan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. H. Abdul Mu’ti membincang ‘Negara Pancasila dan Khilafah’.
Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj memberikan prakata sebelum diskusi dilaksanakan. Dalam sambutannya Kiai Said menuturkan NU-Muhammadiyah mempunyai dua amanah yang harus dijaga yakni diniyyah dan wathoniyah. Ia menjelaskan pertama, amanah menjaga agama (diniyyah), membela agama harus dilakukan secara ma’ruf tidak dengan mungkar.
“Kedua, menjaga negara (wathoniyyah) yang telah disepakati pendahulu sebagai negara bangsa. Jika NU dan Muhammadiyyah bersatu, 65 persen permasalahan di Indonesia akan teratasi, sisanya peran elemen lainnya,” tutur Kiai Said membuka serial halaqoh di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (19/5).
Sementara Abdul Mu’ti menjelaskan Muhammadiyah menilai bahwa Indonesia ini negara islami maka tidak perlu dipersoalkan kembali. Konsep gerakan Muhammadiyah substansialisasi nilai bukan Formalisasi Syariat. Bahkan di Sidang Tanwir Muhammadiyah 2007 diputuskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila adalah bentuk ideal bagi bangsa Indonesia.
“Dalam bahasa Muhammadiyah konsep NKRI merupakan darul ahdi was syahadah. Rumusan Pancasila yang ada hari ini bukan main-main, Kiai Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo menandatanganinya,” jelas Abdul Mu’ti.
Mu’ti menambahkan merespon tema yang didiskusikan perlunya pencegahan gerakan yang dilakukan HTI. Menurutnya ada tiga publikasi massif yang dilakukan HTI pertama, buletin Ar-Risalah, kedua, Majalah Al-Wa’i dan ketiga, Suara Islam.
“Kelompok radikal bergerak melalui kampus sejak tahun 80-an. Sekarang sudah sedemikian massifnya,” tutur Mu’ti.
Ditempat yang sama Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini mengungkapkan sejak Muktamar NU tahun 1935, sikap NU tegas bahwa bentuk negara Indonesia adalah darus salam bukan darul islam. Gerakan yang ingin mengganti bentuk negara itu karena tidak paham pola hubungan negara.
“Menurut Presiden RI keempat Gus Dur (KH. Abdurahman Wahid) ada tiga bentuk hubungan agama dan negara paradigma universalistik, sekularistik dan simbiotik,” tutur Helmy.
Ia menjelaskan paradigma pertama universalistik hubungan Agama dan negara menjadi satu kesatuan seperti Saudi Arab. Paradigma sekularistik, negara dan agama secara tegas dipisah seperti Turki. “Paradigma Simbiotik. Agama dan Negara saling mengisi tidak formal dan inilah Indonesia,” tegasnya.