SITUBONDO- Dalam sejarah pendirian Nahdlatul Ulama (NU), peran KH Raden As’ad Syamsul Arifin demikian sentral. Isyarah KH. Muhammad Cholil, Bangkalan yang menyerahkan tongkat, tasbih serta wiridan ya Qahhar dan ya Jabbar kepada Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari adalah peran Kiai As’ad.
“Kendati peran Kiai As’ad demikian penting, namun dalam perjalanannya tidak pernah meminta jabatan di NU. Kiai As’ad juga mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga, gelar pahlawan yang disematkan kepada Kiai As’ad sangatlah tepat,” kata KH. Muhyiddin Abdusshomad dalam Seminar Nasional Refleksi 33 Tahun Khittah NU di aula Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Kamis (12/1).
Muhyiddin mengatakan anugerah pahlawan nasional yang diberikan negara kepada KHR. As’ad Syamsul Arifin membawa konsekuensi. “Karena itu, para santri dan juga aktifis NU harus juga mengawal NKRI dan NU kedepan,” jelas Kiai Muhyiddin yang juga pengasuh Ponpes Nurul Islam Jember.
Muhyiddin juga menjelaskan teladan Kiai As’ad dalam berjuang adalah keteguhan dalam memegang prinsip perjuangan. Termasuk, lanjutnya khidmat NU dengan mengawal para kiai yang terhimpun dalam kelompok Situbondo, berhadapan dengan kalangan Cipete.
“Peran Kiai As’ad mampu merangkul kalangan anak muda potensial ada KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Slamet Effendi Yusuf, Said Budairi, Masdar Farid Mas’udi dan sebagainya. Selain itu perpaduan para kiai kharismatik seperti KH Mahrus Aly, KH Ali Maksum, termasuk Kiai As’ad, dan kalangan muda, sangat berpengaruh bagi perubahan di NU,” tutur Kiai Muhyiddin.
Dalam perjalanannya, Ia menuturkan Kiai As’ad juga pernah menyatakan mufarraqah terhadap kepemimpinan NU. Akan tetapi, lanjutnya kendati melakukan mufarraqah, Kiai As’ad tidak pernah membuat kubu ataupun tandingan. “Itulah kelebihan sikap Kiai As’ad lantaran pribadi tulus atau mukhlis, sederhana dan bersih,” terang Kiai Muhyiddin.
Di akhir paparannya, Kiai As’ad juga sebagai sosok yang memiliki kedekatan dengan masyarakat sekitar. Termasuk memperhatikan kajian Aswaja baik saat ceramah, maupun mengenalkan ajaran akidah 50 di masyarakat. “Sehingga, gubahan syiir tersebut dijadikan sebagai pujian jelang shalat rawatib di sekitar Situbondo,” tegasnya. (Ibnu Nawawi)