SITUBONDO- Sudah 33 tahun sejarah khittah Nahdlatul Ulama mewarnai perjalanan organisasi yang didirikan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari atas restu KH. Muhammad Kholil Bangkalan. Dalam perjalanan panjang tersebut berbagai tantangan dihadapi. Karenanya diperlukan refleksi ulang agar Khittah NU tetap menjadi ruh bagi perjalanan jam’iyyah.
Demikian antara lain yang menjadi perhatian para pembicara pada pembukaan Seminar Nasional Refleksi 33 Tahun Khittah NU. Kegiatan diselenggarakan di Aula Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, Rabu (11/1).
“Kegiatan ini (seminar-red) sebagai upaya melakukan pembacaan ulang sejarah sejak awal pendirian NU. Bagaimana kita memiliki pemahaman dan pengertian saat Mbah Hasyim mendapatkan restu dari Mbah Cholil Bangkalan ketika hendak mendirikan NU,” tutur Mudir Ma’had Aly Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo KH. Hariri Abdul Adhim di Situbondo, Rabu (11/1).
Kiai Hariri menambahkan periode berikutnya adalah bagaimana perjalanan NU yang awalnya berorientasi sebagai jam’iyah diniyah ijtimaiyah akhirnya diuji dengan politik praktis. “Karena saat terlibat dalam politik praktis, ternyata menimbulkan gejolak di internal NU,” imbuh Kiai Hariri.
Sementara perwakilan PWNU Jatim, KH Syadid Jauhari juga mengingatkan bahwa keinginan kembali ke Khittah NU sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1971. “Akhirnya, pada Musyawarah Nasional atau Munas NU tahun 1983 di pesantren inilah gagasan tersebut dapat diterima,” jelas Pengasuh Ponpes Assuniyah Kencong, Jember itu.
Pembicara lain putra tokoh khittah NU almagfurlah KH Ahmad Shiddiq, KH Muhammad Firjaun Barlawan mengatakan bahwa kegiatan membincang khittah merupakan salah satu upaya sumbangsih bagi khidmat NU. “Diharapkan upaya ini dapat menjadi sumbangsih kita kepada NU,” tegas Gus Firjaun-sapaan akrabnya.
Seminar membincang khittah NU yang sudah berjalan 33 tahun ini adalah hasil kerjasama Keluarga Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah dengan LTN PWNU Jatim dan TV9 Nusantara. (Ibnu Nawawi)