JAKARTA- Jelang tutup tahun 2016, PBNU menyampaikan butir-butir Refleksi Akhir Tahun 2016 pada Jumat (30/12). Beberapa isu kebangsaan tidak luput dari pandangan PBNU.
Refleksi akhir tahun 2016 yang dituangkan dalam surat bernomor 1135/A.II.03/12/2016 ini, PBNU memaparkan sikap. PBNU menilai bangsa Indonesia harus bersatu padu di tengah konstelasi dunia yang kian bergolak, dengan mengencangkan ikatan tali persaudaran sesama umat Islam (ukhuwwah Islamiyyah), sesama warga bangsa (ukhuwwah wathaniyyah) dan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwwah insaniyyah).
“Tahun 2016 diwarnai narasi penonjolan politik identitas yang rentan menggerogoti sendi-sendi konsensus nasional berdasarkan Pancasila sebagai kalimatun sawa’ (tali pengikat). Perhelatan politik Pilkada DKI dan konflik Timur Tengah dieksploitasi sebagai bahan bakar untuk menyulut benih-benih perpecahan antarelemen bangsa,” tutur Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj saat menyampaikan refleksi akhir tahun 2016 bertajuk ‘Pudarnya Semangat Toleransi dan Kebhinekaan’ di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (30/12).
PBNU, lanjutnya mengingatkan bahwa demokrasi yang tengah dikonsolidasikan sebagai sistem untuk mengalokasikan kesejahteraan publik berpotensi dibajak oleh gerakan fundamentalisme agama dan ideologi fundamentalisme pasar. Ia mengatakan kebebasan telah memberikan panggung kepada kelompok radikal mengekspresikan pikiran dan gerakannya yang berpotensi menggerogoti NKRI melalui isu SARA, provokasi permusuhan, dan terorisme.
“PBNU melihat pemerintah gagap membangun counter-narrative sehingga radikalisme dapat tumbuh subur di dunia maya. Moderatisme dan toleransi digempur setiap hari oleh tayangan dan konten radikal yang begitu mudah disebar dan viral di media sosial,”imbuh Kiai Said.
Untuk itu, ia menuturkan pihaknya menghimbau kepada netizen untuk bijak dan arif dalam menggunakan media sosial sebagai arena berbagi ilmu dan kebaikan, bukan wahana penyebaran fitnah dan kontes permusuhan. “Gerakan digital literacy (melek digital) perlu digalakkan, termasuk melalui instrumen pendidikan formal, agar dunia maya berfungsi konstruktif sebagai agen kohesi sosial,” ujar Kiai asal Cirebon itu.
Di sisi lain, fundamentalisme pasar telah ‘memperalat’ demokrasi sebagai sistem yang melayani kepentingan modal. Demokrasi berubah menjadi demokrasi pasar yang menempatkan modal sebagai tuan, bukan rakyat yang datang ke bilik suara dalam pemilu. Rakyat memang telah memilih pemimpin dan wakil-wakil mereka secara langsung, tetapi episentrum kebijakan masih berpusat di tangan pemilik kapital.
“Regulasi dibuat tidak sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan rakyat, tetapi kepada pemilik modal. Rakyat tetap di pinggir dan tak berdaya di tengah sumber daya alam yang habis terkikis,” tegasnya.
Sementara setali tiga uang, kondisi ekonomi dan kesejahteraan belum inklusif karena menyisakan trilogi ketimpangan yaitu ketimpangan antarindividu, antarwilayah, maupun antarsektor ekonomi.
Kue ekonomi nasional masih dinikmati oleh segelintir orang yang menempati 20 persen teratas dari struktur piramida ekonomi nasional dan 40 persen kelas menengah.
“Koefisien gini masih cukup tinggi yaitu 0,4 dan 0,6 untuk rasio gini penguasaan tanah. Segelintir orang mendominasi kepemilikan atas jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan dan obligasi pemerintah, serta penguasaan tanah,” jelas Kiai Said.