Bhineka Tunggal Ika Bukan Berarti Perbedaan yang Diseragamkan (Toleransi Penimba Ilmu Lintas Agama)

*oleh Nahda Ellen Pemenang Essay Award yang diadakan PP IPNU

——

Pray for the peace of humanity Berdoa untuk kedamaian umat manusia

Humanity shall live in peace Umat manusia akan hidup berdamai

Salam (ungkapan salam umat islam)

Syalom (ungkapan salam untuk nasrani)

Shanti (ungkapan salam umat hindu)

Shancai (ungkapan salam umat konghucu)

Shadu (ungkapan salam umat Budha)

Damai (Damai : rukun)

Humanity Shall live in peace Umat manusia akan hidup berdamai

Saya sangat bersyukur pada Tuhan, karena saya lahir dari lingkup yang beragam tapi saya tidak merasa tercengkram. Dengan jiwa-jiwa yang berbeda iman, saya justru bisa merasakan manisnya kedamaian tanpa mengganggu keteguhan Ketuhanan. Cerita dimulai sejak saat saya duduk di bangku SMP. Setelah lulus dari sekolah dasar, orang tua saya sangat bersemangat mengirim saya ke salah satu Islamic Boarding School[1] di daerah Tegalrejo, Magelang. Peristiwa Pertama yang membuat saya terkesan adalah ketika hari pertama di boarding (asrama), salah seorang ukhti mudabbirah[2]memanggil saya, kemudian menanyakan perihal kemampuan saya membaca al-qur’an. Ukhti sedikit tidak percaya jika saya memang bisa membaca al-qur’an,hingga beliau memerintahkan kepada saya untuk mengambil al-quran dan membaca beberapa pilihan ayat yang diujikan darinya.

Ternyata pengurus pondok memang tidak percaya jika saya bisa membaca al-qur’an, ukhti melihat dari nama lengkap saya Nahda Elen Fandinka yang menurutnya saya adalah seorang mualaf yang baru mengenal pesantren dan belum tahu menahu tentang agama islam. Rupanya begitu dalam sekali aura nama dalam kesan agama.

Pertemuan malam itu membuat saya secara langsung mencurahkan asal usul diri saya, bahwa saya berasal dari keluarga yang mayoritas katholik, bahkan sampai saat ini juga belum semua anggota keluarga yang mendapat hidaya untuk berhijrah ke agama islam. Saya mempunyai seorang nenek katholik yang menikah dengan seorang pria (kakek) alim yang berprofesi sebagai tentara, yang secara otomatis membuat nenek saya menjadi mualaf. Disisi lain, adik dari nenek saya jugamengikuti jejak kakaknya sebagai mualaf namun, saat merasakan kebingungan, beliau bergegas menuju ke gereja untuk menluapkan segala kegalauannya pada Tuhan Yesus. Ketika saya kecil, saya sering diajak ke gereja untuk menemani adik-adik dari nenek saya bersembahyang. Elen kecil sudah biasa bertemu dengan Rama[3]dan Suster.[4]Maju satu persatu dihadapan Rama mendapatkan potongan-potongan kue dan berpesta di malam natal bersama umat gereja, juga rutinitas yang pernah saya alami di masa kecil saya.

Diusia SMP, saya sudah tidak lagi mengenal bau gereja, namun saya masih mengenal aroma kemeriahan natal. Mulai dari SMP juga saya mulai berhijab dan menjadi santriwati Pondok Pesantren dan harus berhadapan dengan rutinitas yang amat religius yang secara langsung berefek bagi diri saya. Sorogan,[5] ro’an,[6]dan diba’an[7]adalah santapan saya sehari-hari di pesantren. Kehidupan pesantren tentu sangat mengubah moral saya. Hingga dua tahun berada di pesantren, ada suatu hal yang membuat saya harus hijrah dari SMP Syubbanul Wathon ke MTs Ma’arif.

Di madrasah baru,saya mendapat reparasi moral yang luar biasa hingga akhirnya saya bergabung dan menjadi bagian dari Ikatan Pelajar Putri Nahdhatul Ulama (IPPNU). Dari IPPNU juga saya pernah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Workshop Duta Tolerasi. Dalam workshop tersebut dibahas berbagai problematika umat yang sebenarnya dialami oleh antar aliran dalam suatu agama dan bukan karena lintas agama. Namun dengan begitu bukan berarti tidak ada masalah terkait lintas agama, hanya saja belum begitu terlihat signifikan di lingkungan kami.

Selain kegiatan Duta Toleransi, di Madrasah Aliyah saya juga mendapat kesempatan lagi untuk belajar bersama teman-teman lintas agama dalam Seminar Multikultural[8] di Kementrian Agama Jawa Tengah. Disana saya belajar bersama pemateri-pemateri yang tentunya juga berbeda agama. Kegiatan yang dilaksanakan selama seminar adalah kunjungan ke tempat tempat ibadah antar umat beragama di wilayah semarang. Berkunjung ke gereja, masjid, vihara, pure, dan klenteng membuat saya semakin memaknai sebenarnya tentang toleransi antar umat beragama.

Problematika Umat Beragama di Lingkup Pelajar

Pelajar lintas agama sulit berinteraksi akrab

Usia pelajar adalah usia labil, dimana setiap pelajar akan tidak stabil dalam mengatur emosional. Kebanyakan pelajar merasa beda kasta karena berbeda keyakinan. Banyak sekali pelajar yang belum bisa memaknai apa arti toleransi. Realita yang terjadi adalah pelajar menganggap bahwa perbedaan merupakan persaingan. Sehingga pelajar lintas agama cenderung bersaing saling mengunggulkan keyakinan masing-masing yang akhirnya membawa konflik tidak sehat bagi kalangan pelajar.

Pelajar Fanatik tanpa dasar

Saat ini banyak sekali pelajar-pelajar yang terpengaruh oleh berbagai aliran-aliran yang tidak jelas pedoman dan ajarannya. Semena-mena mengunggulkan agama sendiri dan menyalahkan agama orang lain. Kyai yang sudah religius selama dua puluh tahun disalahkan oleh seorang yang baru menimba ilmu satu tahun. Jika memang realita tersebut semakin manjadi-jadi, lalu bagaimana tentang keotentikan dan kredibelitas sumber hukum dan al kitab masing-masing umat beragama. Banyak sekali organisasi agama yang sudah meracuni dan memutar otak pelajar Indonesia. Hal ini disebabkan karena kebiasaan taqlid buta, artinya hanya sekedar ikut-ikutan, tanpa tahu apa dasarnya.

Melangkah Menuju Solusi

Dua problem tersebut akan semakin menjadi jika kita sebagai pelajar terus beranggapan bahwa perbedaan adalah persaingan. Mengubah mindset memanglah tidak mudah, akan tetapi setidaknya kita harus berusaha menjadi sadar terhadap perbedaan yang ada dan menganggapnya sebagai harta kekayaan sehingga bisa mewujudkan integrasi nasional.

Perbedaan agama di lingkup pelajar bukanlah masalah, yang menjadi permasalahan adalah cara pandang setiap umat beragama terhadap agama yang bukan dianutnya. Laaikraahafiddin, tidak ada larangan dalam memilih agama. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia juga tidak boleh menindas yang selain islam. Agama selain islam memiliki hak perlindunga, memiliki hak untuk berkeyakinan, dan yang jelas, Allah juga melarang umat islam memusuhi orang kafir yang baim terhadap muslim. Ketika kita membenci umat selain islam, maka mari kita pikirkan terlebih dahulu, seberapa baik mereka di lingkungannya. Pengalaman saya saat mengunjungi tempat tempat ibadah membuktikan bahwa servis (pelayanan) tokoh umat agama selain islam sangat istimewa, namun sebagai umat muslim alangkah malunya saya melihat teman-teman saya yang begitu multikultural tidak diberi layanan dengan baik. Bahkan tokoh agama di masjid mengaku tidak tau ketika ditanya soal sejarah masjid. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang hidupnya digunakan untuk mencaci maki keyakinan orang.

Disisi lain ada orang yang mempercayai adanya Tuhan tapi dia tidak menganut agama yang ada, atau lebih akrab dikenal dengan atheis, lalu bagaimana kita harus menyikapi terhadap hal tersebut? Kali ini memang bukan masih pentingkah kita berbeda, akan tetapi mari pikirkan ketika kita berbeda. Berfikir disini bukan berarti misi untuk memberantas agama lain dan unggul dalam keyakinan pribadi. Namun, berpikir menyikapi perbedaan berarti menjaga konsistensi timbal balik yang sudah di firmankan Allah pada surat Al kafirun Lakum diinukum Waliyadin. Lafal ini bukan sekedar tulisan al qur’an yang dihafal oleh anak sekolah dasar, namun juga harus dihayati isinya, dan diamalkan amaliyahnya.

Bersahabat Melalui Perbedaan Menikmati Manisnya Kedamaian dengan Tetap Iman

Agama bukan permainan keyakinan yang setiap saat bisa diamalkan. Agama adalah benteng bagi para pemilik hati yang berniat meniti jalan merasakan nikmat Ketuhanan. Jika dalam hati kita masih menginginkan Bhineeka Tetap Menjadi Ika, maka mari kita samakan langkah dengan masing-masing keteguhan keyakinan, untuk menuju Integrasi Jaya di masa depan. Indonesia bangsa yang multikultural yang menganut Tuhan beragam, namun tetap Esa dalam pancasila. Sebagai umat Islam yang mayoritas, harusnya rahmat islam melampaui batas-batas, tanpa memandang ras dan tanpa berkonflik keras. Mari tetap menjadi pelajar mulia yang menghargai perbedaan namun tetap kaya akan Iman dan percaya akan adanya Tuhan. UNTUKMU AGAMAMU, UNTUKKU AGAMAKU

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Trool, w Christian. 2011. Muslim Bertanya Kristen Menjawab. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo

Sumber Internet

Tanyangan Youtube Mata Najwa Memaknai Toleransi, diakses pada 15 Oktober 2016 pukul 15.45

[1] Sebutan untuk asrama pelajar islam

[2] Pengurus –pengurus pondok putri yang dipanggil dengan sapaan mbak atau dalam bahasa arab disebut ukhti

[3] Pemuka agama nasrani (seperti ustadz dalam islam)

[4] Asisten / Pengabdi gereja

[5]Sistem membaca al-qur’an dengan antri bergantian pada pengurus pondok.

[6] Bersih-bersih masal yang dilakukan oleh seluruh santri pesantren setiap ju’mat pagi

[7]Kegiatan memaca buku al barjanji