Oleh: Soleh *
“Nak, apakah kau tak lelah. Kiranya kau masih muda jangan kau forsir tenagamu untuk terus-menerus melakukan pergerakan yang tak ada bayaran sepeserpun kau dapatkan. Kau lihat sendiri kan, sudah dua bulan ini engkau berjuang, keluar malam dan lobi kesana-kemari untuk menyamakan sudut pandang di setiap lapisan warga. Itu semua tak gampang kau lakukan, mengingat usiamu masih relatif muda. Uang jajan yang telah menjadi hak mu seringkali kau gunakan untuk beli bensin berkeliling mulai pagi hingga larut malam. Ibu tak tahu entah kau pergi kemana. Saya khawatir nak, nasibmu kelak lebih buruk di banding ibumu yang sudah tua, yang hanya setiap pagi hingga siang hari ibu berdagang di pasar kampung ini. Tak peduli hujan ataupun terang. Tak peduli banyak pembeli atau sepi. Aku paksakan untuk tetap berangkat ke pasar pusat untuk mencari dagangan, kemudian ibu jajakan kembali sebagai pedagang no 3 di pasar kampung,” tukas ibuku saat menyambut kedatanganku di teras rumah. Bersamaan saat itu aku sedang mencopot sepatu sepulang dari sosialisasi narkoba di desa tetangga. Aku pandang raut wajah ibu yang penuh harap terhadap seorang diriku sebagai anak bungsunya yang diberi nama Rudy.
Rudy dikenal sebagai pemuda pergerakan aktif di kampungnya. Akibat keaktifan di dunia pergerakan lapisan masyarakat desa, hingga mendapat lirikan Ketua IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Kecamatan Banyuwangi untuk ditarik sebagai anggota. Tanpa pikir panjang ia segera mengiyakan ajakan Tono yang waktu itu menjadi ketuanya. Selain dia aktif berjuang dikampung, dia juga rajin belajar dan menulis. Kegiatan menulis di media sosial, Rudy sangat intens. Mulai dari: facebook, twitter, instagram, dan medsos lainnya. Tak luput dokumentasi setiap perjuangannya ia sematkan di setiap karya tulisnya yang akan diupload. Pada awalnya jumlah pengikut twitternya mulai hanya puluhan saat ini mengalami peningkatan ratusan followers di akun twitternya.
“Kau harus tahu nak, pekerjaan dagang di pasar sudah ibu lakukan semenjak ibu baru menikah dengan ayahmu. Banyak kenangan indah yang berhasil kita rajut dalam keluarga kecil kita. Dulu, saat kau masih bayi, seringkali sakit-sakitan. Badanmu sangat lemah, setiap malam menangis (rewel) tak bisa di elakkan. Aku tahu sendiri dengan kedua tangan ayahmu kau dibopong keliling kampung agar kau tak rewel setiap malam. Tak jarang ayahmu yang menggantikan momong setiap waktu, saat aku tertidur,” kenang ibu di teras rumah, sembari ku melihat mata ibu mulai berkaca-kaca saat bercerita kenangan almarhum ayah ketika masih hidup, dan mengenang sulitnya merawat aku waktu kecil.
Ayah sudah meninggal sejak 4 tahun yang lalu, akibat paru-paru yang dia miliki sudah banyak lubang dan noda hitam. Ingatku saat mengantarkan ayah waktu diambil foto rontgen paru-parunya di rumah sakit. Dokter menyampaikan karena memang ayah terlalu sering merokok. Ketika mendapatkan peringatan dokter, tak jarang ayah tetap saja merokok dengan sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan ibu, aku dan kakakku.
Dulu saat ayah masih hidup, beliau adalah sosok orang yang sangat disiplin, tegas dan konsekuen. Tak khayal kakiku sering menjadi sasaran saat tak menunaikan sholat lima waktu, atau saat bermain layang-layang hingga larut maghrib. Pun ayah selalu menjadi pusat permintaan solusi disetiap aral melanda kehidupan rumah tangga bibi, paman, dan kemenakan karena kekonsekuenan, ketegasan, dan kedisiplinan yang beliau miliki.
Benar memang, akhir-akhir ini, Rudy sudah menjadi sorotan di kampungnya, lantaran dia pemuda yang aktif dan rajin membantu para masyarakat kampung khususnya pelajar yang putus sekolah. Banyak hal yang sudah Rudy lakukan, mulai dari: sosialisasi bahaya narkoba, merekomkan anak tak mampu sekolah ke pemerintah, tak hayal dia sering terlibat demonstrasi turun di depan gedung legislatif dan pemerintah untuk menyalurkan suara rakyat.
Aku mengajak ibu untuk duduk di kursi teras rumah. Karena ibu sudah lama menanti kedatanganku. Aku sudah lama tak bersua dengannya lebih dari tiga hari. Akibat banyak kegiatan di IPNU dan tugas rapat masyarakat kampung. Ku tatap wajah ibu yang penuh harap, kemudian aku mengatakan padanya sembari kupegang tangannya “Ibu aku tahu kau sayang padaku, dan tentunya aku juga sudah sadar bahwa saya harus menjadi manusia yang memeberikan manfaat untuk lainnya,” Ujarku di saat semilir angin malam yang berhembus di teras. Sinar rembulan yang mulai jatuh, menghiasi kesyahduan malam kebersamaan aku dan ibu.
Walau saat itu tak terdengar suara burung gagak yang biasa berkicau memecah keheningan malam. Aku duduk lebih mendekat ke ibu dari posisi awal duduk, kemudian aku sampaikan padanya “Meski gerakan ini tanpa bayaran, tapi ini tugas mulia ibu. Dan ini memang harus dibangunkan melalui kesadaran. Ini awal waktu yang tepat, disaat saya masih muda, memang saya harus lakukan ini. Siapa lagi nantinya kalau bukan saya. Saya melihat dengan pandangan bahwa bangsa ini banyak memiliki peluang untuk menjadi lebih baik. Ibu, dulu waktuku saat masih mondok, kiai pernah mengingatkan: perjuangan ini harus dilakukan dengan tangan, kalau tak bisa dengan lisan, kalau masih belum mampu dengan doa pun tak mengapa. Darisana bu, saya terpanggil untuk ikut berperan dalam perjuangan ini. Meski masih belum bisa mengajak orang lain, minimal perubahan ini saya awali dari diri sendiri,” khudu’ aku bercerita padanya, si temon memotong pembicaraan kita sembari mengeong menatap kami berdua, seakan si temon faham apa yang kita bicarakan malam itu.
Temon merupakan kucing sepeninggalan ayah ketika hidup. Temon didapatkan saat ayah pulang kendurenan walimah nikah di kampung sebelah. Saat itu ayah memilihnya untuk dirawat karena memang waktu itu temon masih kecil, juga dalam posisi kedinginan. Ayah khawatir ketika itu akan mati kalau tidak dirawat dengan baik. Sudah kedinginan juga kelaparan. Ayah sepakat memberikan nama temon yang nama panjangnya adalah temonan, karena kucing itu ditemukan ayah tanpa perencanaan.
Setelah mendengarkan jawaban dariku, ibu terlihat bingung. Karena tak nyana melihat perkembangan anaknya kian hari memiliki pemikiran kian dahsyat. Betapa tidak, dulu Rudy yang dikenal olehnya sebagai anak polos, kolot, dan korep. Sekarang tidak, perubahan kian hari kian menjanjikan. Bak perjalanan bulan dan matahari yang sesuai dengan porosnya. Perjalanan yang pasti dan terencana.
Tiupan angin sejuk menerpa lagi, seakan memberikan inspirasi bagi ibu untuk berbicara lagi. “Nak, apakah kau tak lihat Ritto teman seangkatanmu kuliah sekarang sudah menjadi pegawai di salah satu Bank konvensional ternama. Alex pun juga seperti itu nak, dia diterima karyawan bagian keuangan di salah satu dealer mobil terbesar di banyuwangi. Sementara kau disini masih belum bekerja layak, bahkan hasil pekerjaanmu hanya cukup beli jajan dan bensinmu sendiri. Nak, coba kau fikir lagi perjalananmu sejauh ini, agar kau tak terlalu jauh tersesat di jalan,” tutup ibu sembari memandang pandangan ke arahku, aku tahu ibu saat ini galau menunggu jawaban apalagi yang akan saya utarakan nantinya.
Temon menyelinap di balik punggungku, aku tahu temon malam ini kedinginan. Hingga aku manaruh taplak meja teras diatas badan temon. Kulihat temon sudah tenang dan sedikit ku tatap matanya sudah terpejam. Saya memberanikan diri untuk melanjutkan percakapan. “Sebelumnya mohon maaf bu, aku sempat berfikir seperti apa yang telah ibu fikirkan. Ibu khawatirkan dengan pendidikan sarjana ekonomi, anakmu tidak bisa mendapat pekerjaan seperti Ritto dan Alex anak tetangga? Saya pernah membaca buku karangan kiai Ahmad Baso pesantren studies 2a, beliau jelaskan dengan jelas, bahwa: output pendidikan negara kita sekarang ini hanya sebatas digunakan sekrup pekerja industri asing atau menjadi babu budaya kapitalis.
Artinya saat ini mindset pendidikan kita hanya digunakan alat untuk mencari pekerjaan di perusahaan asing. Coba ibu rasakan ketika kita melihat sejarah nenek moyang kita, dulu pyur pendidikan mereka ada di pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan sebulat-bukatnya. Hasil didikan di pesantren sangat fantastis, ibu lihatkan nenek kakek kita bisa mengerjakan dan mengelola hasil bumi sendiri. Tanpa adanya monopoli, saling menjarah, mempermainkan harga dan merebut tanah. Ibu, dulu kakek nenek kita masih belum pernah mengenyam pendidikan ala belanda. Akibatnya kakek nenek kita bisa hidup berdaulat berdiri dengan kaki sendiri. Sementara saat ini berbeda 360° sarjana kita hanya dijadikan sekrup pekerja perusahaan asing dan franchise. Saat ini para tenaga asing diajarkan bahasa indonesia untuk dipekerjakan di moncong-moncong tambang-tambang negeri kita (NKRI). Kita sebagai tuan rumah hanya menikmati 10% diantara labanya.
Ini jelas monopoli dan merugikan. Sekarang, budaya hidup yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Dulu kita menerapkan sistem perekonomian kerakyatan, tapi saat ini kita menikmati budaya ekonomi kapital. Sekali lagi, ini jelas permainan yang merugikan kita sebagai tuan rumah. Pihak asing menjadi penikmat sementara bangsa kita hanya menjadi kuli. Ibu juga harus sadar, meski kakek nenek kita tidak bisa baca tulis huruf latin. Tetapi mereka sudah lebih akrab dengan aksara jawa dan huruf hijaiyah. Itu terbukti banyak sekali karya tulis nenek moyang kita yang mempengaruhi peradaban beberapa dunia, mulai dari wawasan politik, sistem perekonomian dan sistem pendidikan. Kita sudah punyak sendiri semua sistem tersebut. Ini semua terjadi akibat jajahan belanda dalam waktu 350 tahun. Itu bukan waktu yang sebentar. Sehingga saat ini membudaya trauma dan mental inlander di setiap warga kita. Masih ada juga kelebihan yang dimiliki bangsa kita, banyak ulama asli negara kita yang mengajar di arab saudi dan belahan bumi lainnya. Wawasan bangsa kita jauh lebih unggul dibanding bangsa asing.
Aku membaca saat ini Ibu dan masyarakat lainnya masih bermental inlander. Mohon maaf bu jika perkataan saya kurang berkenan. Hasil diskusi dengan kawan-kawan, inlander adalah mental terjajah. Menganggap diri kita lebih hina dibanding bangsa asing. Mental seperti itu harus kita hapuskan bu. Kita harus bangkit membangun mental bangsa ini yang sebenarnya. Seperti nenek moyang kita dulu. Mental berdikari tanpa kerja sama asing dengan bungkus kapital,” aku tak tahu ibu bisa menerima tawaran wacana saya lontarkan atau tidak. Entah itu berlebihan atau tidak, saya tak faham. Karena memang benar bangsa kita jauh lebih hebat dibanding asing.
Temon semakin terlelap getaran pernafasannya semakin lama semakin keras. Ditengah temon terlelap ibu menutup perbincangan malam ini dengan penuh harap. “Iya sudah Nak, ibu sekarang percaya terhadapmu. Memang benar kutipan sejarah yang telah kau ceritakan panjang lebar. Aku harap kau semakin bijak menggunakan waktu mana itu belajar, dan mana waktu untuk berorganisasi,” tutup ibu sembari mengecup kening ku, akupun terharu melihat ibu melakukan hal ini diluar nalarku. Tak sadar air mata ku meleleh karena terharu atas sikap itu.
Ketika ibu berdiri dari kursi ku pegang erat tangannya, ku beranikan diri menatap wajah yang menyejukkan itu sembari berkata: “ibu saya minta doa dan restu darimu dalam proses perjalanan belajar dan perjuangan anakmu, di setiap sholat yang engkau lakukan,” harapku padanya.
Ibu mengangguk tanpa berkata, sesekali ditengah perjalanan masuk ke rumah ku melihat ibu menyeka air mata yang sempat meleleh. Aku bertekad harus menggunakan kesempatan dan tidak mengkhianati kepercayaan yang telah ibu berikan. Karena aku cinta pada bangsa dan tanah airku. Kuputuskan malam ini untuk duduk di teras rumah menemani temon yang sedang terlelap. Sesekali kuhitung jumlah bintang yang bertabur diatas teras yang terlihat dari tempat duduk terbuat dari anyaman bambu di teras rumah sebagai hiburan.
*Peserta Anggota IPNU Cabang Banyuwangi