Sebulan terakhir ini, kita disibukkan dengan hiruk-pikuk soal isu bangkitnya kembali komunisme. Aneh menang. Sampai saat ini komunisme nampaknya terdengar begitu menyeramkan di kebanyakan telinga masyarakat kita.
Di hadapan realitas yang demikian itu, saya dan mungkin puluhan manusia yang terlahir pasca kejadian 1965 mengalami bukan saja rabun sejarah, namun lebih dari itu kami buta akan sejarah bangsa kita sendiri. Siapa aktor, siapa korban, siapa mediator, siapa kompor, siapa dalang, semua menjadi sedemikain rumit untuk kami baca, apalagi pahami.
Saya teringat Joko Pinurbo:
Kepalaku disegel negara
Sejarah terkuci
Kuncinya terbuat dari lupa
Saya masih ingat betul ketika duduk di kelas tiga muallimin (setingkat SMA) di Jombang, Saya kerap berkunjung ke perpusatakaan sekolah yang koleksinya lumayan. Di sana, entah mengapa mata saya tertuju pada sebuah buku di pojokan rak. Saya menduga ini hanya kebetulan semata, sebab perpustakaan kami kala itu memang berantakan. Tak ada pustakawan yang menjaga dan menatanya selepas siswa-siswi membaca buku-buku koleksi tersebut. Dan apa boleh dikalam, sejak saat bersentuhan pertama kali, saya langsung jatuh hati pada—mula-mula kaver buku, kemudian isi, dan penasaran dengan pengarangnya “Tan Malaka”.
Malaka adalah lema yang berhasil membuat saya penasaran kala itu. Satu-satunya lema “malaka” yang saya kenal adalah lema yang menyelinap di dalam sebuah lagu “di selat Malaka, di ujung Sumatra”. Ya, sebagai siswa yang kesehariannya berkutat dengan kurikulum pesantren, pengetahuan geografis saya memang tergolong parah.
Singkat hikayat, saya akhirnya membaca buku tersebut. Saya tidak mengerti isinya apa. Namun saya tertarik saja. Utamanya pada penulisnya. Tan Malaka, nama yang aneh dan tidak lazim di telinga kita: anak-anak pesantren. Dan karena gagal memahaminya, Saya pun meninggalkan buku itu begitu saja.
Saya beralih dari satu bacaan ke bacaan lain. Dari perpustakaan itu juga, sepasca saya mencampakkan Tan Malaka, saya bertemu Nawal El-Sadawi si perempuan penulis yang bernas itu. Saya berselancar ke buku-buku Khalid Abu El-Fadl, utamanya yang berhasil saya ingat sampai hari ini bukunya yang bertajuk Musyawarah Buku. Saya bertemu, di perpustakaan itu juga, dengan buku-buku karya Emha Ainun Nadjib: Surat Kepada Kanjeng Nabi, Markesot Berturur, Markesot Bertutut Lagi, Secangkir Kopi Jon Pakir.
Namun, suatu ketika, seorang guru bercerita kepada saya. Hati-hati memilih bacaan. Di perpustakaan sekolah kita ada beberapa buku yang tidak laik untuk dibaca. Saya penasaran, waktu itu saya sangat kaget dan tertarik dengan wejangan guru tersebut. Jangan-jangan selama ini saya salah memilih bacaan. Jangan-jangan selama ini yang saya baca adalah buku-buku yang berbahaya bagi perkembangan otak dan mental saya. Kalau itu yang terjadi, wah cilaka duabelas hidup saya. Hidup cuma sekali, betapa ruginya kita kalau-kalau dalam memilih bacaan untuk dijadikan referensi saja salah. Singkatnya, saya tertarik dan pikiran saya berkecamuk kala itu.
Atas dasar itu saya mengacungkan tangan, bertanya dengan bibir yang sedikit gemetar. “Buku yang berbahaya di perpustakaan kita seperti apa Pak contohnya?”. Saya mengira guru saya akan marah. Ternyata tidak. Sama sekali tidak. Ia tersenyum dan sejurus kemudian melemparkan jawabnnya kearah saya dengan nada yang sangat meyakinkan “Buku-buku Tan Malaka, sebagian ada di perpustakaan. Itu semua berbahaya”. Kelas hening. Saya merasa pernah mengeja nama itu. Saya gagal membacanya dan saya tidak begitu memahaminya. Dan buku itu, buku yang gagal saya pahami sejak pegangan pertama, ternyata oleh guru saya dinobatkan sebagai buku berbahaya.
Kelak akhirnya kita akan tahu semua bahwa semakin dilarang, naluri kita semakin penasaran. Itu alamiah dan manusiawi. Dan saya pun demikian. Sejak saat buku Tan Malaka oleh guru tersebut dinobatkan sebagai buku berbahaya, maka saya diam-diam rajin membolak-balik halamannya. Hasilnya? Tetap saja. Saya tidak kunjung memahaminya. Ini buku apa sih? Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Dari tiga kata itu hanya satu yang sata tahu artinya: Logika. Sementara apa itu materialaisme dan makhluk apakah gerangan dialektika, saya sama sekali tidak tahu. Begitu, akhirnya saya putus asa. Saya tinggal buku itu. Saya tidak penah menyentuhnya lagi. Memandangnya pun tidak. Sampai akhirnya saya masuk kuliah. Saya kerap berkunjung ke perpustakaan. Saya ikut diskusi sana-sini, dan sialnya nama itu sering disebut dan dikutip. Ya Tan Malaka.
Belakangan saya baru tahu setelah pelan-pelan membaca bukunya. Berulang kali hanya demi mendapat pemahaman yang pasti. Saya baru tahu bahwa Tan Malaka adalah pejuang sejati. Ia adalah yang pertama kali menggunakan frase republik Indonesia dalam artikelnnya “Naar de Republiek Indonesia” yang terbit tahun 1925.
Ia memang komunis. Ia memang tokoh kiri. Tapi kiri dan komunis bukan sebagaimana yang dituduhkan oleh kebanyakan isi batok kepala manusia di republik ini, utamanya selama masa orde baru. Kiri dan komunis oleh orde baru dimuradifkan dengan anti Tuhan. Ini aneh dan sulit dipahami.
Komunis dan kiri itu bukan langsung sinonim dengan anti Tuhan. Tan Malaka itu seorang Datuk yang lahir di Malaka. Nama aslinya Ibrahim. Nama yang nampaknya tabarrukan dan tafaulan kepada Nabi Ibrahim: Bapak agama-gama samawi. Ia, ini yang banyak tidak diketahui oleh mayoritas kita, hafal al-Quran. Iya, ia khafidul Qur’an. Bukti ini setidaknya sudah cukup untuk mendedahkan bahwa Tan bukanlah anti Tuhan.
Tapi apa boleh bikin. Nyatanya sampai hari ini banyak manusia yang tidak kunjung siuman dari pingsan panjang orde baru. Mereka menganggap kiri dan komunis adalah setan. Atau bahkan iblis.
Sampai kemudian di hari buku nasional kita mendapati ironi yang maha ironi: razia buku-buku kiri. Dedi Junaedi, manusia yang diberi amanat untuk mengelola Perpustakaan Nasional cilakanya juga malah mendukung gerakan ini. Ia di suatu wawancanya mengatakan “Saya setuju (razia). Karena dengan adanya buku-buku aliran kiri ternyata mersesahkan. Zaman orde baru buku-buku itu dilarang untuk diedarkan. Untuk dibaca harus ada izin kejaksaan.” Katanya penuh keyakinan.
Librosida atau gerakan pemusnahan buku sampai kapanpun tak pernah dibenarkan. Itu adalah tindakan manusia dungu yang tak mengerti bahwa betapa kebudayaan dan sebuah peradaban itu terlahir dari tiang-tiang yang bernama buku.
Dan di titik ini saya berani mengatakan bahwa apa yang Dedi Junaidi lakukan kepada republik ini adalah Jahhaaaat!
@Farizalniezar