SeputarNU.com – Peristiwa mencekam selama kurang lebih tiga jam di kawasan jalan M.H. Thamrin Jakarta Pusat beberapa waktu lampau menyisakan banyak kenyataan dan pertanyaan. Tentu saja pertanyaan itu tidak begitu saja berasal murni dari peristiwa pengeboman dan baku tembak teroris dengan aparat kemanan, namun lebih dari itu pertanyaan-pertanyaan yang muncul justru terlahir dari bejibunnya informasi “hoax” yang mengiringi peristiwa tersebut.
Benar nian, hari ini kita sudah masuk ke dalam labirin yang pernah diprediksi oleh Albert Einstein. Suatu ketika, Einstein berkata bahwa akan tiba masanya suatu saat manusia akan menjadi “bulan-bulanan” teknologi. “I Fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots”. Teknologi hari ini sudah sangat membunuh kecerdasan dan humanitas manusia. Penggunaan teknologi yang tanpa dibarengi dengan verifikasi dan juga konfirmasi melanda hampir seluruh penduduk negeri ini. Media sosial menjelma sekaligus “melembaga” menjadi semacam penyedia berita yang lebih mengedepankan kecepatan tanpa pernah berpikir dua kali untuk keburu mengabarkan.
Di tengah bejibunnya informasi yang demikian maya dan rabun itu, keadaan diperparah dengan kalakuan pengguna internet (netizen) yang kerap meringkas persoalan dalam gamitan tagar atawa hastag. Tagar menjadi sedemikian menggelinding dan tiba-tiba menjelma begitu saja menjadi topik pembicaraan yang terlembagakan dalam “tranding topic”.
Kenyataan di atas dalam bahasa Jean Baudrillard (2001) adalah kenyataan simulakra. Ia bukan ralitas sesungguhnya, ia adalah realitas imitatif.
Dalam masyarakat yang hidup di dalam belenggu simulakra sangat mustahil membedakan antara yang nyata dengan yang imitasi. Tak ada lagi realitas, yang ada hanyalah—dalam bahasa Baudrillard disebut dengan– hiper-realitas.
Hasil dari pandangan hiperrealitas adalah adanya keyakinan masyarakat terhadap kenyataan-kenyataan yang sejatinya bukan kenyataan. Pandangan hiper-realitas adalah pandangan yang merujuk pada realitas yang imitatif dan palsu.
Teror di Jalan MH. Thamrin adalah contoh sahih betapa kita sudah hidup salam belenggu simulakra yang dimaksud Baudrillard tersebut. Belum pekak telinga kita atas letusan granat dan bom tersebut, di saat yang bersamaan beberapa media massa, terutama televisi dan juga media sosial, mengabarkan adanya ledakan yang serupa adi pelbagai tempat yakni Palmerah, Cikini, dan juga Kuningan.
Media yang mengedepankan kecepatan tanpa konfirmabilitas yang valid berpadu dengan latahnya masyarakat simulakra yang bernafsu menjadi “pewarta” yang terdepan pula di komunitas dan group watssapp-nya menjadi adonan dan racikan pas fenomena simlulakra ini. Dan ringkasnya, –sekali lagi–realitas imitatif tersebut diringkus dan dilembagakan dalam bentuk tagar atawa hastag.
Tagar #KamiTidakTakut misalnya menjelma menjadi gerakan yang tiba-tiba saja. Entah siapa yang pertama kali berinisiasi membuatnya, tiba-tiba menggelinding demikian saja. Nampaknya tagar #KamiTidakTakut ini dimaksudkan untuk memperkuat mental kita agar tegar di hadapan bencana terorisme yang sedang melanda.
Problemnya adalah apakah tagar #KamiTidakTakut tersebut sungguh-sungguh berangkat dari keberanian diri atau memang justru sebaliknya untuk “membesarkan” hati dan mental kita di tengah mencekamnya keadaan? Kalau jawabannya yang pertama, kita musti bersyukur, namun jika yang terjadi adalah kenyataan yang kedua maka betapa canggihnya kita dalam menutupi kelemahan yang sedang menerpa?
Frasa “kami tidak takut” tentu saja frasa dengan subjek jamak. Ia tidak mewakili pribadi. Seorang teman bergumam lirih Kami Tidak Takut, tapi Saya Takut. Pesan seorang teman tersebut bisa dimaknai bahwa kata ganti jamak “kami” mengeliminir sifat ksatraiaan dalam diri yang harusnya dimiliki oleh setiap pribadi. Sebab kita tahu bahwa betapa ajaran leluhur kita dulu yang berbunyi “ngluruk tanpo bolo” yang terjemahan bebesnya berarti berani bertarung secara mandiri. Itulah sifat ksatria sejati.
Belum lagi aneka kejanggalan dan kritikan yang menggambarkan betapa kecuraigaan terhadap frasa #KamiTidakTakut justru adalah raelitas karikatural dari masyarakat kita yang sesungguhnya sedang ketakutan di dalam bayang-bayang cengkeraman terorisme. Takut adalah dimensi rasa, ia menghuni nyali kita, dan manusiawi memang, untuk sekadar menutup-nutupinya, manusia kerap membalutnya dengan kata-kata.
Al-Quran, kitab suci umat Islam, memberi pelajaran menarik bahwa betapa ketika ia berbicara dimensi rasa, maka kata sesungguhnya tak ada artinya dan tidak diperlukan lagi. Semakin mengeksploitir kata maka semakin mendedahkan bahwa sesuhhnya ia sedang mangalami kebalikan dari yang ia katakan. Surat Al-Ikhlas adalah surat yang sama sekali tak pernah mencantumkan kata ikhlas di dalam ayat-ayatnya.
Di tengah masyarakat yang bergutat dengan galaksi simulakra seperti hari ini, masih ada secercah harapan yang terlahir dari mereka yang benar-benar hidup di dunia nyata. Mereka adalah yang bisa beruzlah dari media sosial dan lebih mementingkan menjalani kehidupan sehari-hari dengan apa adanya. Tukang sate yang tetap mengipas dagangannya dan meladeni pembeli di lokasi yang jaraknya sangat dekat dengan aksi terorisme, penjual makanan ringan yang tetap berkeliling santai megitari sekitaran lokasi teror, penjual rokok, dan aneka manusia-manusia yang berjihad di dunia nyata demi keluarganya untuk bersetia mencari nafkah di dunia nyata.
Hidup mereka lebih tenang. Hidup mereka lebih tenteram tanpa pernah sama sekali disubukkan dan terombang-ambing oleh tagar media sosial.
@Farizalniezar