Sembari menyruput kopi dan mebolak-balik kertas surat kabar rasa-rasanya semakin muram saja melihat pergerakan serta dimika konstelasi bernegara kita. Pelbagai media setiap hari selalu tidak absen untuk tidak menyajikan berita yang tidak mengembirakan, menyedihkan bahkan cenderung mengerikan. Media elektronik seperti televisi juga tak kalah heboh. Media jenis ini, entah pagi entah sore bahkan sampai tengah malam dengan rutin serta istikamah selalu menghidangkan menu-menu berita yang tak ada gembira-gembiranya sama sekali kepada kita.
Tumpukan berita itu, ibarat menu makanan adalah makanan inti semua sehingga tak kenyanglah kita tatkala tak menyantap kesemuanya. Sebagai rakyat awam kita juga tak pernah tahu apa yang terjadi di balik itu semua. Kita kerap dibikin kebingungan tiap kali melihat hulu berita koran-koran nasional yang seakan-akan juga kebingungan menentukan hulu beritanya yang paling pas di antara sekian berita yang laik jadi hedlen.
Di tengah silang sengkarut morot-modolnya berita tersebut, kita sebagai masyarakat pengonsumsi berita berada pada sudut paling pojok serta hampir ketelingsut dengan tetap membawa sekian kebingungan. Lalu kita bertanya diam-diam kapan negara ini menemukan secercah cahaya bagi labirin serta endemik keterpurukan?.
Untuk hari-hari ini saja, sebagaimana dikabarkan oleh media-media nasional beberapa waktu lalu, pergolakan politik gonjang-ganjing isu simposium sejarah soal peristiwa 1965, resafel kabinet, dan juga kertas Panama (Panama papers) menghajar habis alam logika informasi kita.
Belum lagi soal demonstrasi “cor-coran” yang dilakukan oleh Ibu-ibu dari Kendeng. Sunggupun semua itu diakui atau tidak telah menyita hampir separo otak kita. Kita seakan sudah tak sempat dan tidak diberi kesempatan untuk paling tidak memikirkan diri kita sendiri. Kita memakan informasi, disuguhi berita, didulang kabar yang nauzubillah sangat bejibun jumlahnya.
Saya sepenuhnya sepakat dengan pandangan yang menyebutkan bahwa negara–dalam hal ini pemerintah– setidaknya mempunyai tiga tugas pokok terhadap rakyatnya: mengamankan nyawa, harta dan juga martabat setiap penduduk negara tersebut. jika negara adalah sebuah rumah, maka ibarat pemilik rumah, kita menyewa pekerja yang dalam hal ini adalah pemerintah untuk kita pekerjakan agar nyawa, harta dan juga martabat kita aman. Jika salah satu dari ketiganya tak berhasil dijalankan maka tentu harus minimal kita evaluasi kalau bukan malah kita ganti dengan pekerja-pekerja yang lain. Sebab pemerintah itu sifatnya buruh kontrak atau bahasa kekiniannya otsorsing.
Sesimpel itu sesungguhnya mengelola negara. Namun entah mengapa implementasinya sampai saat ini cenderung ruwet dan rumit.
Apa boleh dikalam, nampaknya rumit dan ruwet adalah ciri utama cara berpikir kita. Kita secara naluriah nampaknya lebih senang beruwet-ruwet ria dibandingkan memudahkan sebuah persoalan. Kita ingat, beberapa waktu lalu Lia Eden bilang bahwa sebuah UFO yang direncanakan akan mendarat di Monas, mendadak dibatalkan secara sepihak oleh Alien-alien dan makhluk luar angkasa tersebut. Konon, sepengakuan Lia Eden, Alien tersebut beberapa kali berkomunikasi dengannya dan memetuskan untuk mengurungkan niatnya mendarat di Monas, alasannya: birokrasinya terlalu rumit.
Saya tidak mengenal Lia Eden, begitu juga saya belum pernah bertukar sapa dengan makhluk luar angkasa, termasuk Alien. Tapi entah mengapa tiba-tiba pada konteks ini saya begitu saja menaruh rasa sepakat dan percaya. Saya percaya bahwa birokrasi kita ruwet dan rumit.
Dalam kondisi yang serba ruwet dan juga rumit tersebut, harusnya, sekali lagi harusnya media sebagai corong informasi tidak ikut-ikutan untuk selalu memberitakan ancaman-ancaman bagi “keamanan” masyarakat secara berlebihan. Mengapa? hal ini sangat penting mengingat posisi media sangat strategis sebagai pengasup nutrisi berita bagi masyarakat terutama di kalangan menengah ke bawah.
Media hendaknya lebih proporsional dalam memberitakan suatu kejadian. Pertimbangan pemberitaan tidak murni didasari diktum bad news is good news saja namun lebih dari itu pertimbangannya adalah pertimbangan kebangsaan, kenegaraan, dan juga stabilitas psikologis masyarakat.
Pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan terkakhir itu saat ini hampir jarang ditemukan di media-media kita. Perlu diingat bahwa media adalah satu satu pilar demokrasi yang di tangannyalah arah demokrasi itu bisa ditebak ke mana muaranya.
Nutrisi-nutrisi informasi yang positif dengan mengangkat potensi serta memberitakan pelbagai kabar positif dari bangsa ini adalah satu cara untuk mengatasi rasa frustrasi dan jumud psikologi yang mengancam masyarakat kita. Rasa frustrasi ini sampai hari ini sebagaimana dikatakan oleh pakar psikologi komunikasi Steven Bebe masih sangat akut mendekap masyarakat Indonesia.
Asupan berita yang melulu negatif bukan tidak mungkin akan membebalkan sensor empati mereka sehingga mereka akan terbiasa serta menganggap biasa kejadian-kejian yang semestinya luar biasa. Hal ini misalnya bisa dideteksi tatkala mulai muncul rasa ketidakheranan kita mendengar kabar tantang korupsi anggaran pengadaan kitab suci, gratifikasi seks, presiden yang lebih mementingkan partai, dan juga seorang ibu yang terpaksa membunuh anaknya dikarenakan tak mampu menanggung biaya hidupnya.
Maka tak heran jika banyak pakar yang bilang bahwa disadari atau tidak media massa adalah salah satu alat produksi primer sejarah abad ini. Kehadirannya harus kita arahkan kepada arah yang positif, utamanya dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Eniwei, empat tahun lalu, Edelman, seorang pakar komunikasi massa pernah merilis hasil suveinya soal tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap sebuah media. Hasilnya? 77% responden menyatakan percaya pada media massa sebagai corong informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Seorang mahasiswi di kelas yang kebetulan saya ampu mendapat tugas untuk menganalisis berita-berita media massa. Lama sekali ia mebolak-balik lembaran kliping koran. Wajahnya adalah garansi kebingungan. Dan tiba-tiba ia menarik nafas yang sangat dalam, Ia hembuskan dan kemudian berdoa “Tuhan, masih bisa dipercayakah media massa?”.
@Farizalniezar
Sumber gambar di sini