Sembilan wanita dengan kaki dibalut cor seukuran balok 100×40 centimeter berderet di depan Istana Negara. Mereka sedang mempertontonkan “narasi besar” buruknya pola pengelolaan dan distribusi keadilan di bangsa ini.
Sembilan wanita itu karib di telinga kita disebut dengan “Sembilan Kartini dari Kendeng”. Mereka adalah kristalisasi perjuangan dan aspirasi masyarakat Kendeng yang bergulat melawan pembangunan pebrik semen di wilayah yang ijo royo-royo itu.
Kendeng, barangkali bukan saja jaminan hidup mereka, namun lebih dari itu, Kendeng adalah garansi kelestarian dan kehidupan anak cucu sekaligus kelangsungan hidup keturunan mereka. “Kami hidup bukan untuk hari saja, kami memiliki keluarga, kami memiliki keturunan, dan kami berjuang untuk itu semua”. Kata salah seorang dari ibu-ibu yang dicor kakinya tersebut.
Dulu, dulu sekali, sekitar Nopember 2015 beberapa warga Kendeng jalan kaki “menjemput keadilan”. Mereka, petani-petani itu, berjalan setapak demi setapak dari Kendeng ke Semarang. Mereka datang ke Semarang dalam rangka menyambut sekaligus mendengarkan putusan hakim PTUN ihwal gugatan mereka kepada Bupati Pati yang telah memberikan izin pembangunan pabrik semen PT Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan Indocement, di kawasan karst Kendeng.
Perjalanan menjemput keadilan tersebut barangkali tidak cukup semata kita maknai sebagai sebuah perjalanan kosong. Mereka berjalan kaki memanggul nasib mereka, memanggul derita mereka. Nasib yang barangkali sedang megap-megap disembelih oleh ketidakadilan yang ditimpakan penguasanya. Mereka adalah pejalan sunyi yang mencari keadilan persis seperti yang dikatakan Cahairil Anwar “nasib adalah kesunyian masing-masing”.
Tercatat, warga Kendeng juga pernah meluapkan kekecewaannya terhadap pemerintah dengan menginap di tenda-tenda yang mereka dirikan di sekitaran lokasi yang diizinkan oleh pemerintah untuk diberdirikan pabrik semen. “Kami ndak mengerti amdal, ngertinya kami soal kelestarian lingkungan dan kelangsungan hidup dan mata pencaharian, itu saja. Masak kami rakyat kecil disuruh baca amdal”. Ujaran kekecewaan itu keluar dari salah pengunjuk rasa sembari menahan isak tangis dan tumpahnya air mata.
Demonstrasi barangkali adalah cara-cara terakhir yang ditempuh untuk meluapkan kekesalan dan kekecewaan. Saya percaya bahwa petani Kendeng tak akan pernah mendirikan tenda, menginap dan bertarung dengan gigitan nyamuk alas yang dahsyatnya luar biasa, berjalanan sepanjang kurang lebih 200 kilometer dari Kendeng ke Semarang, dan juga berdiri, mematung, mengecor kaki dalam balutan balok yang ukurannya segede godam raksasa, jika mereka sudah diperlakukan adil dan bertemu dengan yang namanya keadilan dalam hidupnya.
Dulu, saya masih ingat, waktu Pak Bambang SBY memimpin negeri ini, ada demonstrasi besar-besaran dan salah satu peserta demonstrasinya membawa kerbau bertuliskan Si Buya. Realitas ini adalah realitas karikatural yang berarti bahwa betapa rakyat sudah sangat “sastrawi” dalam menyindir pemerintahnya. Mereka ndak perlu teriak-teriak orasi, mereka cukup menggunakan simbol-simbol yang dianggap bisa mewakili “isi hati”.
Menghadapi realitas ini sama artinya belaka bahwa rakyat kita kian hari kian cerdas saja. Mereka sudah bergeser, dari demonstrasi oral menuju “demonstrasi sastrawi”. Mereka sudah bergeser dari peradaban “caci maki” menuju peradaban “simbolisasi ironi”.
Di kampung saya, tren demonstrasi sastrawi ini juga sedang menjadi arus utama. Mereka, anak-anak muda di kampung saya, meluapkan rasa kekecewaannya kepada aparat desa dan pemerintah atas kondisi jalan yang rusaknya sudah sampai taraf nasudzubillah. Ya, jalanan di kampung saya barangkali hanya bisa dilukiskan hanya dengan dua kata, kalau ndak rusak ya rusak parah. Pemuda-pemuda itu menanam pohon pisang di tengah-tengah jalan raya yang belethoknya minta ampun itu. Saya pikir perbuatan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang komposisi hidupnya terbuat dari “kekecewaan, kecerdasan, dan sekaligus kesedihan”.
Namun, sekali lagi namun, sublim dan halusnya sindiran dan demonstrasi tersebut nyatanya berbanding terbalik dengan bebalnya petinggi dan pemerintah kita. Mereka, entah mengapa seolah buta mata, tuli telinga dan juga bebal hati melihat “demonstrasi sastrawi” tersebut. Hingga saat ini, hingga sembilan wanita mengecor kakinya dengan adonan semen yang itu artinya mereka sedang menarasikan sebuah pesan besar yang sekaligus menyindir sejarah bahwa bangsa kita, pemimpin-pemimpin kita sudah maltelinga, malhati, malmata, dan tentu saja nirrasa.
Di tangan rakyat yang cerdas, kemarahan bisa disulap dan diekpresikan secara keratif dalam bentuk demontrasi-demontrasi yang teatrikal dan menyuguhkan sarkasme sekaligus sinisme yang “menggelitik”. Namun di tangan pemerintah yang bebal dan tuli, sedramatik, setreatikal, dan se-sastrawi apapun demonstrasi mereka tetaplah demonstrasi. Sambil lalu, mengintip lewat kaca mobil dinasnya, seorang pejabat bergumam “namanya demo ya tetap demo, bagaimanapun bentuknya. Besok juga akan reda. Kita siapkan bantuan sosial untuk mereka. Berapa lama sih mereka bisa bertahan”.
Kita sedih melihat kenyataan itu. Kita paham bahwa yang dibutuhkan rakyat bukanlah bantuan sosial melainkan keadilan sosial, begitu kata mendiang Gus Dur. Wallahu A’lam Bisshowab
Sumber Gambar di sini
@Farizalniezar