Setahun lagi hajatan besar akan digelar: pilkada 2017. Menyimak turbulensi politik hari ini membuat dahi kita berkerut. Pasalnya, kita seperti melihat telenovela saja, politik hari ini tak ubahnya sinema yang menguras habis rasa iba, ngilu hati, dan tentu saja deraian air mata.
Untuk kasus pilkada DKI Jakarta, yang umegnya terasa sejak saat ini padahal pemilihannya masih setahun yang akan datang, kita bisa menyaksikan pertarungan sengit antara yang masih bertahta dan berniat untuk mencalonkan diri lagi, dengan wajah-wajah baru penantangnya. Yang pertama, yang sedang berkuasa disebut sebagai petahana, sementara yang kedua, yang datang sebagai orang yang mencoba-coba peruntungan kerap disebut sebagai sang penantang.
Ada yang menarik dari fenomena Pilkada serentak beberapa bulan lalu. Fenomena tersebut adalah tren kemenangan sekaligus hegemoni petahana dalam konstelasi pilkada serentak. Tergantung memandangnya, ia bisa bermakna positif, juga bermakna negatif. Positif sebab besar kemungkinan para pemilih sudah sadar politik, sadar program, serta luas wawasan dan pengetahuan dalam menetukan pilihannya. Mereka memilih petahana bisa saja dan sangat mungkin disebabkan pengetahuan mereka yang cukup memadai akan kualitas petahana tersebut. Singkatnya gaya kepemimpinan serta produk pimpinan dari patahana itu membuat “numan” alias ketagiahan para pemilih sehingga mereka mencoblosnya kembali.
Sementara itu, sisi negatifnya, banyak pikiran yang menduga, dan ini sah-sah saja, bahwa jangan-jangan petahana-petahana yang menang dalam pilkada tersebut semuanya memanfaatkan jaringan birokrasi yang mengakar yang dimilikinya. Artinya dengan modal politik yang mumpuni ditopang dengan modal material yang bergelimang, kemenangan petahana bukanlah sebuah kenyataan yang muluk-muluk, dan itu adalah sebuah kewajaran.
Kita bisa mengambil sampel yang bisa mengagambarkan betapa hegemoniknya petahana dalam sebuah pertarungan pilkada. Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, Kota Samarinda, Kota Surabaya, Kabupaten Karawang, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Kediri, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Gresik, dan Provinsi Sumatera Barat, adalah wilayah-wilayah yang membuktikan bahwa petahana alias calon yang sejatinya sedang berkuasa alias inkamben tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. Kekuasaan petahana nyaris “mutlak”.
Nah, di DKI Jakata, etalase Indonesia ini, Basuki Thahaja Purnama alias Ahok sampai saat ini nyatanya masih memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas yang cukup tinggi. Namun, dengan kondisi yang di atas angin tersebut, tidak ada salahnya jika penantang-penantangnya yang terbentang dari pelbagai kalangan: politisi, pakar hukum, pengusaha, sampai seniman, mencoba merebut hati warga DKI Jakarta.
Saya membayangkan, akan terjadi pertarungan yang menarik di Ibukota ini. Ada banyak warna. Ada Haji Lulung yang anti mainstream dan selalu istikomah dengan potongan dan piyakan rambutnya. Ada Profesor Yusril yang cermat, teliti, selalu menang dalam persidangan, namun ternyata memilki hati Micky Mouse, ada Sandiaga Uno pengusaha muda yang namanya belum terdengar nyaring, dan tentu saja ada juga musikus Ahmad Dhani yang bicaranya kerap menuai kontroversi, sekontroversi syair lagunya “tatap matamu bagai busur panah”, iki maksute piye, nyolok moto?
Saya hanya ingin mengatakan apa yang pernah dikatakan Tsun Zu bahwa Jenderal yang besar adalah yang bisa menaklukkan sebuah kota tanpa melakukan peperangan sama sekali. Apa artinya? Saya rasa kita sudah sangat dewasa, saya rasa Haji Lulung, Prof. Yusril, Mas Sandiaga, dan juga Bro Dhani memiliki pemahaman yang lebih mumpuni dibandingkan Farhat Abbas.
Ahok juga begitu, sebagai tamu, mbok ya cukup di ruang tamu saja, ndak usah masuk ke kamar apalagi ke dapur tuan rumah.
@annasaer