MEDAN – “Rasulullah berbisnis. Mayoritas Sahabat juga begitu. Imam Malik itu pedagang besar lho. Sekarang kita NU meminta belas kasihan,” kata Rais Syuriyah PBNU Syekh Ali Akbar Marbun saat diskusi “Menyongsong Satu Abad NU dan Kebangkitan Ekonomi Indonesia” di Ponpes Al-Kautsar Al-Akbar Medan Rabu Malam (23/3).
Pernyataan salah satu anggota formatur Ahlul Halli Wal Aqdi ini merupakan otokritik terhadap kebiasaan sejumlah pengurus NU yang masih menggunakan cara-cara konvensional dalam menggerakkan roda organisasi. Di beberapa daerah, diakuinya, cara-cara menengadah, mengandalkan proposal, mengharapkan bantuan dari luar, masih menjadi tradisi NU.
“Ini kebiasaan meminta belas kasihan dianggap biasa. Tapi kalau ada kyai berbisnis salah ini kyai dibilangnya,” urainya.
Paradigma berfikir berikut manajemen pengelolaan jam’iyah sebesar NU, ungkap kyai 75 tahun ini, sudah saatnya diubah. NU ke depan tak boleh ragu dan tabu lagi kalau mau mengembangkan usaha dan bisnis. Abuya Marbun menyontohkan Pesantren As-Tsaqafi di Parung, Bogor, yang bikin pabrik roti dan teknologi pengolahan sampah mandiri. Dengan basis usaha ini, pesantren mampu memberi makan sehari-hari santri, bahkan membebaskan biaya sekolah.
“Kalau bikin program dakwah sekarang, diprogramkan saja dakwah itu berdagang. Dalam bisnis itu juga ada kandungan dakwah. Asal jangan dilupakan saja ibadahnya,” tutur Abuya.
Konsen dan semangat kyai sepuh NU Sumatera Utara ini begitu luar biasa terhadap upaya membangkitkan perekonomian NU. Terlebih menyusul agenda Rakernas Lembaga Perekonomian NU Pusat yang bakal digelar di Medan, Sumatera Utara, 1 – 3 April 2016 mendatang. (ZA)
