JAKARTA- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Deradikalisasi Berbasis Agama” Rabu, 23/4 di Gedung PBNU. Acara diskusi tersebut sebagai ajang pra-ekspedisi Islam Nusantara yang akan dilaksanakan oleh PBNU mulai 31 Maret-9 Juni 2016. Ekspedisi Islam Nusantara dimaksudkan untuk menggali artefak kebudayaan dan sejarah Islam Nusantara di 40 Kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Sekjen PBNU H. A. Helmy Faishal Zaini yang menjadi salah satu narasumber pada kesempatan itu mengatakan bahwa akar masalah radikalisme sesungguhnya di samping disebabkan oleh adanya ketidakadilan adalah juga dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman ajaran agama.
“Kaum beragama hari ini sangat kering pemahaman keagamaannya. Mereka mungkin sudah saleh ritual, tapi belum saleh sosial. Ini jelas disebabkan oleh kekeringan pemahaman dan kedangkalan wawasan mereka terhadap agama,” ujar Helmy.
Adanya gerakan-gerakan yang selalu ingin merongrong Pancasila seperti ISIS dengan ideologi khilafahnya adalah bukti nyata bahwa radikalisme itu sudah sangat masif. Beberapa waktu lampau berdasarkan data yang masuk dan diterima oleh PBNU terdapat tidak kurang dari 400an warga Indonesia bertolak ke Syuriah. “Hal ini jika dibiarkan maka bukan tidak mungkin akan berujung pada hal-hal yang tidak kita inginkan sama sekali,” imbuh Kang Helmy.
Mereka, Kang Helmy menambahkan para pemeluk agama itu harusnya memahami, terutama dalam konteks berbangsa dan bernegara, apa yang ditawarkan oleh Gus Dur kaitannya dengan paradigma bernegara. Ada tiga yakni: Integralistik seperti Saudi, sekularistik seperti Turki, atau simbiotik seperti kita ini di Indonesia.
Paradigma Integralistik adalah paradigma yang menyatakan bahwa agama dan negara adalah sebuah entitas yang sama dan tidak bisa dipisahkan. Hukum agama adalah hukum negara itu sendiri. Adapun paradigma sekularistik adalah paradigma yang secara tegas memisahkan hubungan agama dengan negara. Kedua-duanya adalah dua entitas yang berbeda sama sekali, oleh karena itu harus dipisah.
“Sementara yang dimaksud dengan paradigma simbiotik adalah meletakkan nilai-nilai agama sebagai ruh dan spirit dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia menurut Gus Dur adalah negara yang menjalankan paradigma ketiga ini,” Kang Helmy mengingatkan.