Membaca berita seharian yang lampau membuat hati miris bukan kepalang. Betapa tidak? Di depan mata kita, lewat tanyangan video amatir yang begitu viral di media sosial, kita menyaksikan betapa kekerasan bisa terjadi kapan saja dan dengan motif bagaimana saja. Salah satunya adalah dipicu oleh rasa ketidakadilan atau perbedaan perlakuan.
Saya semafhum dengan Bre Redana yang pernah mengatakan bahwa di dalam kota yang macet, sesungguhnya bukan aktivitas sehari-hari saja yang mecet, namun lebih dari itu kita bisa menyaksikan kebudayaan yang macet. Kebudayaan yang macet adalah akumulasi dari jalanan yang macet, saluran air yang macet, birokrasi yang macet, dan tentu saja legislasi yang macet. Lema macet adalah gambaran wungkul keadaan kita hari ini.
Kita bisa dan boleh meneliti lebih jauh di bagian mana dari lekuk kehidupan Ibukota ini yang tidak macet. Di tengah kemecetan yang menjadi wajah tunggal kehidupan Ibukota hari ini, kita tahu, kekerasan dan kebrutalan adalah sesuatu yang jaraknya hanya sepelemparan batu. Dekat sekali dengan kita. Sebab pada masyarakat yang segala aspek kehidupannya macet, yang ada hanya ketidaksabaran dan ketergesa-gesaan. Jalanan kita adalah wajah ketidaksabaran dan ketergesa-gesaan itu sendiri.
Saya berani mengatakan bahwa jika Tuhan menghendaki klakson mobil dan motor itu berbunyi dan bersuara laiknya manusia pada umumnya, maka saya yakin bahwa langit-langit ibukota akan penuh dengan serapah dan umpatan yang menyesakkan hati dan telinga.
Sampai kemudian hari ini, sampai kemudian ribuan sopir taksi menumpahkan “kemacetan” yang ada di dalam diri mereka dalam bentuk yang paling kasat: unjuk rasa. Jika yang dilakukan hanya sekadar unjuk rasa, ngudar roso semata saya termasuk yang meyakini bahwa kegiatan yang demikian tidaklah masalah. Namun persoalannya lain jika kemudian unjuk rasa dan ngudar roso tersebut ditunggangi oleh amarah.
Nah di sinilah letak soalnya. Ribuan sopir taksi itu tiba-tiba benar-benar unjuk rasa dan meluapkan rasa kecewanya dengan cara yang mengerikan. Memblokir jalan, membakar ban bekas, dan memusuhi serta menyerang siapa saja yang mereka indetifikasi sebagai musuh. Sekali lagi, mereka menyerang siapa saja yang mereka identifikasi sebagai musuh, bukan lawan.
Musuh dan lawan jelas berbeda. Musuh adalah pihak yang harus dihancurkan, Sementara lawan adalah rekan dalam sebuah percaturan atau kompetisi. Dan jelas, ribuan sopir taksi itu tidak sedang mencari lawan, tapi justru sedang mencari musuh. Hingga sebagian mereka benar-benar bertemu dengan Sar’ali (46) tahun yang ketika ribuan sopir taksi lain sibuk berunjuk rasa, ia tetap menjalankan aktivitasnya narik taksi. Hari itu ia harus tetap narik dan banting tulang sebab keluarganya sedang membutuhkan suntikan dana yang tidak sedikit jumlahnya: anaknya hendak piknik ke Bali. Saya tidak tertarik untuk membahas gaya piknik anak Sar’ali, namun Sar’ali adalah satu dari sekian juta laki-laki yang di kepalanya tertanam dogma bahwa apapun yang terjadi kita harus bekerja demi kelangsungan hidup dan kebagaiaan keluarga. Mulia, sangat mulia.
Sar’ali, di tengah aktivitasnya mengantarkan penumpang dari Tanah Abang menuju Kampung Rambutan, ia harus berhadapan dengan sejumput supir taksi yang berujuk rasa. Sar’ali dipaksa menurunkan penumpangnya. Ia ngotot tidak mau karena dua alasan resmi. Pertama, keselamatan penumpang adalah yang utama. Kedua, keluarganya butuh uang.
Malang nasib, sejumput sopir taksi itu menjelma binatang buas yang tiba-tiba merangsek taksi Sar’ali, memaksanya turun, dan memcahkan kaca depan mobil. Bagi para pengunjuk rasa, Sar’ali bukanlah kawan, apalagi lawan. Ia adalah musuh yang harus dihancurkan. Posisi Sar’ali sama belaka dengan posisi pengendara angkutan umum berbasis daring (dalam jaringan). Mereka semua dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan bukan lawan yang harus diajak untuk berkompetisi.
Inilah bahasa perubahan. Betapapun kita harus siap untuk mau tidak mau menerima perubahan itu sendiri. Sangat tidak arif memang, jika di hadapan perubahan yang terjadi kita justru mengutuk dan membenci bukan malah mendukung dan mengapresiasi.
Pemerintah harus ikut bertanggungjawab untuk memperbaiki keadaan. Sebab kita tahu bahwa tashorruful imam alarroiyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan yang diambil seorang pemimpin harus berbasis kemaslahatan). Dasar kaidah fikih ini adalah dasar yag harus digamit dalam-dalam untuk mencipatakan iklim yang sehat.
Tugas pemerintah adalah menggeser paradigma musuh menjadi paradigma lawan dalam sebuah persaingan bisnis. Dengan begitu saya rasa kemacetan yang sedang melanda jalanan, hati, dada, dan pikiran penduduk Ibukota dan bahkan seluruh bangsa akan sedikit teratasi.
Sumber Gambar di sini
@Farizalniezar