Mendiang Prof. Damardjati Supadjar filsuf dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta dengan sangat retoris sangat meyakini bahwa rangkaian huruf yang kemudian menjelma kata, kalimat dan kemudian juga menjelma menjadi label dan nama tak ubahnya adalah sebuah doa. Sejatinya nama adalah harapan yang disematkan kepada benda yang dinamai ungkapnya.
Sampai titik ini ungkapan aksoro mbangun projo (aksara merupakan harapan) merupakan opisisi biner dari pikiran Wiliam Shakespeare via lakon Hamlet yang mengatakan bahwa apalah arti sebuah nama. Alih-alih setuju dengan Shakespeare, leluhur kita sebagaimana yang digaungkan Damardjati malah memilih untuk meyakini bahwa nama dan sebutan adalah harapan dan doa.
Kita tentu sangat mafhum bahwa budaya kita selalu mengajarkan agar menamai seorang bayi dengan sebaik-baiknya nama. Hal itu sebetulnya merupakan bukti kongkrit bahwa sebetulnya ajaran leluhur sangat menghargai nama. Leluhur kita seolah ingin mendedahkan kepada anak cucunya bahwa dalam setiap berlaku lampah termasuk juga dalam bertutur kata manusia harus mengerti akan konsekuensinya sehingga tidak waton njeplak saja. Sebab di dalam setiap perkataan, penyebutan dan penamaan apa saja yang meluncur dari mulut manusia bagi leluhur kita dahulu adalah doa. Demikianlah esensi ungkapan aksoro mbangun projo.
Lalu pertanyaanya kemudian apakah ungkapan atau ilmu aksoro mbangun projo ini masih kita peluk sampai hari ini? Terutama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara? Tentu saja jawabannya bisa kita simpulkan melalui beberapa kasus di bawah ini.
Pertama, sebagai negara sebetulnya kita tidak pernah dengan tegas menentukan sesungguhnya nama negara ini apa. Dalam lagu kebangsaaan kita menggunakan nama Indonesia Raya untuk menyebut negara kepaluaan nusantara ini. Bunyi syairnya adalah : Indonesia raya// merdeka merdeka// tanahku negeriku yang kucinta//. Sebagaimana dalam syair lagu tersebut negara kita bernama Indonesia Raya bukan Indonesia saja. Persoalannya kemudian menurut ilmu aksoro mbangun projo bangsa Indonesia tidak akan pernah merdeka karena yang merdeka adalah Indonesia Raya.
Sampai di sini menarik untuk merenungkan sebuah pertanyaan filosofis bahwa apakah hari ini kita benar-benar merdeka dari keterjajahan? Atau apakah justru dikarenakan terlampau canggih dan sublimnya bentuk penjajahan tersebut sehingga kita gagal untuk memahami bahwa sampai hari ini kita masih terjajah dan belum kunjung merdeka?
Di dalam forum resmi kenegaraan kita sering mendengar negara ini dinamai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Entah nama ini siapa penggubahnya, namun kita bisa menangkap bahwa nama NKRI setidaknya diharapkan untuk mempergagah citra negara di mata dunia. Sementara itu di dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak pernah menyebut Negara ini dengan kedua sebuatan tadi kecuali pada momen-momen tertentu. Mungkin terlalu ngoyo kalau dalam dialog sehari-hari rakyat menyebut negara ini dengan NKRI, atau bahkan juga Indonesia Raya. Demikianlah, kenyataannya rakyat sudah karib menyebut negara ini dengan nama Indonesia. Celakanya, sebutan yang mendominasi dan lekat di lidah rakyat adalah nama negara yang belum merdeka versi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Indonesia adalah negara yang belum merdeka atau bahkan mungkin tak kunjung merdeka jika merujuk pada lagu kebangsaan dan menganalisisnya menggunakan prinati ilmu aksoro mbangun projo.
Kedua, masih pada lokus yang sama yakni lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pada lagu tersebut kita mendapati syair Indonesia tanah Airku//Tanah tumpah darahku//. Bait ini mengandung sebuah kalimat yang sangat membahayakan yakni tanah tumpah darah. Apakah ini yang kemudian menyebabkan pertumpahan darah terjadi dimana-mana? Ancaman disintegrasi bangsa yang tak kunjung padam? Atau pertumpahan darah dalam arti yang lebih dinamis yakni tersembelihnya hak-hak hidup rakyat? Sekali lagi jika kita amini ilmu aksoro mbangun projo tentu ada baiknya jika hal itu kita telusuri lebih dalam lagi.
Ketiga, dalam lirik sebuah lagu grup band Koes Plus yang berjudul kolam susu terdapat sebuah syair Orang bilang tanh kita tanah surga//tongkat kayu berubah jadi tanaman. Kalau memang benar demikian yang terajadi maka sebetulnya yang memahami dan mengetahui dengan hakiki bahwa tanah kita adalah “tanah surga” adalah orang lain. Tentu saja orang lain itu bisa berupa negara asing, sebuah sistem, atauapun lembaga di luar pemerintahan negara ini yang karena berbekal ilmu yang memadai sehingga mengerti bahwa sumber daya alam negara kita ini adalah surga. Kasus kepemilikan aset terhadap kekayaan alam di negara kita oleh pihak asing menjadi fakta otentik bahwa betapa orang lebih memahami bahwa negara ini ini adalah surga, sementara kita sendiri hampir dibutakan dan lambat laun menjadi tidak yakin bahwa negeri ini adalah surga.
Keempat, dalam teks proklamasi yang dikumandangkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 ada sebuah kalimat yang berbunyi “hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan akan dilaksanakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Jika kita perhatikan penggunaan diksi pemindahan kekusaan secara semantis mengisyaratkan bahwa sebetulnya kekuasaan itu berpindah dari Jepang ke pemerintah Indonesia. Artinya jangan-jangan pemindahan kekuasaan itu pada titik kulminasinya juga merambah dunia afeksi para penguasa di negeri ini sehingga gaya memimpinnyapun tak ubahnya gaya Jepang dalam menjajah?
Tentu saja saya tidak sedang mengajak bangsa ini untuk mengamini dan dengan mudah meyakini bahwa ke empat hal yang telah dikemukakan di atas merupakan kebanaran. Namun sebagai wacana sandingan (bukan wacana bandingan) alangkah baiknya jika kita kembali mengkaji ilmu-ilmu leluhur kita sehingga kita mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bukan apa dan mengapa, karena hari ini kita semakin digiring untuk membenci dan menjauhi diri kita sendiri oleh kekuatan yang ada di luar diri kita yang sampai saat ini kita belum kunjung mampu menemukan dan merumuskannya. Kita biasa menyebutnya sebagai penjajah. Wallahu a’lam bis shawab
@Farizalniezar