Pesantren adalah lembaga pendidikan islam tertua yang ada Indonesia. Pesantren merupakan ciri yang paling mudah untuk mengidentifikasi kuat dan tidaknya basis Islam di suatu daerah. Selama ini pesantren terkenal dengan sebuah institusi yang berwajah melankolis, selalu melahirkan output-output yang laik jual dan sebagainya.
Dengan tanpa bermaksud menjelek-jelekkan serta membuka aib pesantren, penulis ingin memaparkan suatu fakta yang unik yang lahir dan datang dari mayoritas pesantren yang ada terutama di daratan pulau jawa. Dan fakta tersebut setidaknya sudah tidak asing lagi terdengar bagi kalangan orang pesantren sendiri.
Istilah-istilah yang sangat asing kedengarannya –bagi pihak yang tak pernah mengenyam pendidikan pesantren- dan juga dianggap suatu hal yang tabu bagi umumnya kalangan masyarakat, ternyata tidak sulit untuk ditemukan di dalam pesantren sendiri. kalau para waro’ (anggota penari laki-laki reog) mempunyai gemblak maka waro’ pesantren pun tidak mau kalah, mereka mempunyai semacam “simpanan” yang lazim di kalangan pesantren disebut dengan istilah mairil.
Mairil diperlakukan layaknya wanita simpanan dan aktivitas yang dilakukanpun terkesan tergolong sebagai perlakuan menyimpang dan tidak selayaknya terjadi dan lebih-lebih dilakukan oleh seorang santri yang berdomisili di pesantren. Istilah lain yang biasa digunakan untuk mairil adalah amrod dan juga kidang (kijang), sedangkan untuk si waro’ biasanya di sebut juga dengan banteng yang merupakan ilustrasi dari keganasan serta keberingasannya.
Praktik semacam nyempet (dari kata mepet: merapat) adalah aktivitas yang paling sering dijumpai terkait dengan perlakuan menyimpang santri. Syarifuddin (2005) dalam novelnya yang berjudul mairil memaparkan bahwa ada tiga tipologi perlakuan seks menyimpang yang terjadi di kalangan pesantren. Tiga tipologi tersebut yaitu pertama, nyempet (sempet) dalam hal ini subyek mendekati obyek secara aktif, semantara obyek pasif. Mendekat atau nyempet adalah upaya pelaku mendekatkan alat kelaminnya kesasaran. Sasaran perbuatan nyempet ini adalah bagian paha, terutama bagian antara dua paha yang menyempit.
Kedua, mairil yakni prilaku seksual dengan memberikan kasih sayang kepada orang yang disukainya. Ketiga, katagori kehidupan seksual yang ada di dunia santri yakni cinta sejenis. Namun kasus ini jarang terungkap karena selain jarang terjadi, peristiwa semacam ini sangat tertutup dan tidak umum.
Tidak diketahui jelas sejak kapan praktik tersebut tumbuh dan berkembang di kalangan pesantren. Tidak diketahui secara pasti sebab-musabab ihwal praktik menyimpang tersebut. Selama ini kita hanya dapat sebatas menerka-nerka indikator penyebab adanya praktik tak sehat semacam itu.
Berdasarkan pengamatan penulis faktor psikologilah yang membuat para waro’ yang kebanyakan terdiri dari para santri senior yang telah bertahun-tahun menetap sampai mengakar di pesantren, dikarenakan sulit serta mustahilnya untuk bertemu dengan lawan jenis maka hal itu berdampak pada mereka yang notabene adalah manusia biasa butuh makan dan minum serta tak ketinggalan kebutuhan biologis tentunya. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya perilaku menyimpang tersebut adalah kondisi sosiologis yang ada pada pesantren, biasanya antara laki-laki dan perempuan tidak pernah bisa bertatap muka.
Oleh sebab itu ketika apa yang disampaikan penulis adalah benar-terkait faktor psikologi serta sosiologi-maka konklusinya adalah istilah mairil itu baru muncul belakangan setelan adanya istilah waro’. Dengan bahasa lain mairil ada karena waro’ ada terlebih dahulu.
Tiada gading yang tak retak, justru karena keretakan itulah menunjukkan eksistensinya sebagai gading, begitu juga dengan pesantren yang tidak lain di dalamnya terdapat manusia-manusia biasa dan karena kelemahannya tersebut dia menunjukkan kemanusiannya. Wallahu a’lam
@annasaer