Beberapa hari terakhir, dunia penyiaran disibukkan dengan perdebatan seputar munculnya Surat Edaran (SE) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang meminta agar adegan kewanita-wanitaan di program televisi ditiadakan. KPI bersikeras, adegan-adegan seperti itu bertentangan dengan norma kesopanan yang berlaku di Indonesia. KPI juga beralasan, adegan kewanita-wanitaan itu juga identik dengan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) yang belakangan tengah hangat diperbincangkan.
Namun kalangan internal dunia penyiaran seperti tak terlalu menggubrisnya. Mereka menilai, SE bernomor 203/K/KPI/02/16 itu justru mengekang kreatifitas. Sikap ini mendapat dukungan dari aktifis Koalisi Keberagaman Penyiaran Indonesia yang menyebut SE KPI sangat diskriminatif dan justru menggerus keberagaman.
Adegan-adegan kewanitaan yang dalam tujuh (7) poin isi SE KPI dideskripsikan antara lain sebagai yang; bergaya pakaian kewanitaan; riasan (make-up) kewanitaan; bahasa tubuh kewanitaan; gaya bicara kewanitaan; menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku kewanitaan; menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita; dan menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan, secara semena-mena dinilai sebagai adegan yang tidak baik. Tidak edukatif atau tidak memberikan edukasi yang baik mungkin benar. Akan tetapi serta merta menyatakan itu tidak baik sepertinya berlebihan.
Etika bukanlah moral. Etika adalah telaah kritis tentang ajaran moral. Sementara moral adalah norma, mengacu baik buruknya manusia sebagai manusia. Menghakimi moral berbeda dengan menyoal etika. Sekarang masuk kategori manakah SE KPI tersebut? Menyoal etika? Atau penghakiman moral?
Mengutip Kees Bertens (1993), moral memang berkaitan dengan perbuatan baik-buruk manusia, tapi tidak semua. Meminjam kaidah hukum, moral bisa bersifat lex specialis. Karena ada juga moral yang netral dari segi etis, yang bisa mengesampingkan nilai-nilai etika yang bersifat umum. Contoh, bila pagi hari saya mandi dulu baru kemudian sikat gigi, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan dengan baik-buruk. Boleh saja sebaliknya, sikat gigi dulu baru kemudian mandi. Mungkin cara yang pertama sudah menjadi kebiasaan saya. Munkin cara itu lebih baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik saya, tapi cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau buruk dari sudut moral.
Raghib Al-Ishfahani dalam Makarim Al-Shari’a menjelaskan moral sebagai refleksi individu kaitannya dengan tujuan menuju jalan surga (Jannat Al-Ma’wa). Karena itu moral sebenarnya merupakan sebuah konsep teologis. Rapor atas moralitas menjadi domain privat kaitan relasi antara manusia (makhluk) dengan Penciptanya. Menilai moralitas seseorang, suatu komunitas, atau kelompok dengan kecenderungan tertentu, seperti yang dilakukan KPI sama artinya dengan mewakili kewenangan Tuhan di atas muka bumi.
Kembali ke SE KPI. Menghukumi peran kewanita-wanitaan sebagai tindakan melanggar keumuman, dan lantas meminta stasiun televisi menghilangkan satu peran tersebut dalam sebuah tayangan program, apakah lantas akan membuat tayangan program itu menjadi lebih baik dari perspektif moral?
Membangun kerjasama dengan rumah-rumah produksi dan menyiapkan paket-paket tayangan edukatif untuk mengenal keberagaman gender secara komprehensif, seharusnya bisa menjadi pilihan kebijakan yang lebih mengena, jika mampu dilakukan oleh KPI.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah jelas menjamin penyiaran berdasarkan keberagaman dan kebebasan yang bertanggung jawab. Kata-kata “kebebasan yang bertanggungjawab” memang kalau mau adil tidak bisa hanya dibebankan pada produser dan pelaku lapangan lainnya sebagai penanggungjawab sebuah produksi tayangan. Manager, General Manager, dan Owner dari perusahaan media televisi bersangkutan juga harus memiliki beban yang sama, tanggungjawab yang sama, dalam konteks bagaimana mengkreasi tayangan-tayangan yang tidak berpotensi merusak mental dan akhlak masyarakat.
Dua lini infrastruktur dasar media ini harus memiliki kesadaran dan kesepahaman bersama bahwa ”agenda setting” media selalu membentuk persepsi dan pengetahuan publik tentang apapun yang ditayangkan. Dengan penjelasan lain, apa yang dianggap penting oleh media, maka dianggap penting juga oleh publik. Apa yang dianggap baik oleh media, maka akan dianggap baik juga oleh publik. Disini, pertimbangan impact baik-buruk juga penting dipikirkan selain pertimbangan rating dan share yang selama ini kerap menjadi satu-satunya barometer produksi media.
Tindakan pro aktif KPI dalam upaya menangkal pengaruh isu lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) yang belakangan tengah hangat diperbincangkan, memang tepat dan harus diapresiasi. Bagaimanapun, KPI sebagai lembaga resmi negara di bidang penyiaran memiliki tanggungjawab untuk dengan cermat merespon segala bentuk aduan masyarakat terkait tugas menyehatkan konten dunia kepenyiaran. Namun munculnya SE KPI sebagai respon sepertinya buth kajian lebih mendalam. Sebuah isu aksidental dan sektoral sebenarnya tidak mesti harus direspon dengan kebijakan yang terlalu mengeneralisasi persoalan.
Kalau mau jujur, problematika dunia penyiaran memang rumit. Luas dan dalamnya cakupan problem ekonomi-politik dunia penyiaran harus menjadi pekerjaan rumah semua pihak kalau ingin televisi Indonesia sehat tayangan. Untuk mengurai persoalan-persoalan seperti terkait regulasi industri penyiaran, interaksi antara pemodal asing, nasional dan lokal dalam pengelolaan stasiun televisi, hingga menyangkut persoalan psiko-sosiologis khalayak penikmat tayangan televisi, tentu bukan hanya menjadi domain KPI saja.
Pada bagian paling hulu, problematika industri penyiaran adalah menyangkut praktik penguasaan bisnis yang masih terjadi. Bukan pada soal bagaimana menertibkan praktik monopolinya, karena itu domain pemerintah. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana dibangun sebuah suasana bisnis industri penyiaran yang lebih terbuka dan sehat. Untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan political will yang kuat dari para pemegang regulasi, keterlibatan publik luas dalam setiap pengambilan kebijakan, serta partisipasi kritis dari para pelaku industri penyiaran itu sendiri, secara simultan. []
*Ditulis oleh Didik Suyuthi (Wakil Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)