Ada yang menarik dan hilir mudik di telinga kita hari-hari ini: Kalijodo. Ia adalah sebuah kawasan yang konon akan segera disulap menjadi kawasan terbuka hijau. Tentu saja, dalam catatan saya, setiap kali akan ada hajat untuk membuat kawasan terbuka hijau, setiap kai pula akan ada drama, pertikaian dan tidak jarang menyebabkan pertengkaran.
Kalijodo pun demikian adanya. Warga yang sudah menetap menahun di sana merasa diperlakukan tidak adil. Mereka tahu bahwa tanah yang mereka tinggali adalah miliki negara, namun bukan begini tiba-tiba cara pemerintah mengusirnya. Begitu kira-kira kerangka berpikir yang menyebabkan ketidakpuasan penduduk di kawasan yang separonya masuk Jakarta Barat dan separo yang lainnya masuk Jakarta utara itu.
Keadaan menjadi sedemikian gaduh. Para mucikari usreg ndak karu-karuan. Pemilik kafe dan tempat dugem merasa harus mati-matian menolak sekaligus mempertahankan lokus tempat mereka mencari nafkah.
Bahkan sebuah media berskala nasional menurunkan reportoar berhulu berita “1000 PSK Telanjang Akan Melawan Penggusuran”. Ini fantastis. Seorang teman yang saya kirimi gambar media yang memberitakan itu dengan nada sangat serius bertanya kapan kira-kira gerakan 1000 PSK melawan penggusuran itu dihelat, ia ingin menjadi yang terdepan dalam menyeksikan, katanya.
Kita tahu dan setuju dengan Putu Setia yang mengatakan bahwa sampai kapanpun prostitusi tidak bisa dihilangkan, ia hanya bisa dilokalisir. Prostitusi itu mirip sindikat, ia bermain melalui jaringan ke jaringan. Adapun lokalisasi itu adalah wujud paling kongkrit dari aktifitas berprostitusi itu.
Oleh karena itu, saya kok cenderung tidak sepakat jika ada pihak-pihak yang berusaha membongkar lokalisasi guna menghancurkan praktik prostitusi. Ini aneh. Sebab yang ada malah tidak demikian. Dengan dihancurkannya lokalisasi maka prostitusi akan merebak dan menjadi tidak terkontrol.
Hal ini memang perlu studi lanjut, tapi premis yang ingin saya tawarkan adalah bahwa keberadaan lokasisasi ini jangan dimaknai sebagai sebuah usaha untuk melegalkan praktik prostitusi, malah justru sebaliknya menurut hemat saya lokalisasi itu merupakan usaha untuk meminimalisir praktik prostitusi. Dengan adanya lokalisasi maka praktik prostitusi bisa dikontrol dan dilokalisir. Ia tidak menjadi liar dan tak terkendali.
Atas dasar logika ini pula, tatkala Menteri Sosial mencita-citakan tahun 2019 Indonesia bebas lokalisasi menurut saya, sekali lagi menurut saya kok kontraproduktif ya. Sebab ya itu tadi, nampaknya Bu Mensos lebih memandang lokalisasi sebagai wujud utama penyebab adanya prostitusi dan jual beli kenikmatan, padahal justru sebaliknya, lokalisasi itu ada pascaadanya praktik prostitusi yang dilokalisir. Simpel kan.
Maka tidak mengherankan jika dalam Fikih Sosial, Almarhum Almaghfurlah KH. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa dalam menyikapi praktik lokalisasi prostitusi ini yang penting untuk kita sadari ialah bahwa persoalan tersebut sesungguhnya adalah persoalan sosial, bukan persoalan agama semata. Sebagai sebuah persoalan sosial yang sangat jamak dan tidak mufrad dimensinya maka tentu ia tak mudah untuk dihilangkan, apalagi dengan menggunakan pendekatan dakwah “fikih” yang cenderung kaku dalam memandang persoalan.
Mbah Sahal menawarkan pendekatan kaidah fikih yang berbunyi idza taarodho mafsadatani ru’iya a’dhomuha dhorron birtikabi akhoffihima. Dalam kondisi menghadapi dua persoalan yang sama-sama mengandung unsur mafsadah maka yang terbaik adalah memilih untuk mengambil langkah yang unsur mafsadahnya lebih ringan.
Dalam konteks lokalisasi prostitusi ini jika kita mengikuti paradigma kaidah fikih di atas maka sesungguhnya kita dihadapkan pada dua pilihan mafsadah yakni membiarkan prostitusi dengan segala rangkian kejahatannya seperti pembunuhan dan penyakit HIV di tengah masyarakat atau melokalisirnya sehingga mudah untuk melakukan kontrol dan menentukan kebijakan.
Dengan paradigma tersebut sesunguhnya pilihan melokalisir adalah hal yang bisa ditolelir. Sebab dampak serta mafsadah yang dikandung dalam lokalisi prostitusi lebih kecil dibandingkan jika kita membiarkannya begitu saja.
Namun sekali lagi penting untuk dicatat bahwa paradigma yang digunakan untuk memandang persoalan lokalisasi ini adalah paradigma fikih sosial yang lebih memandang prostitusi sebagai sebuah fenomena sosial, bukan fikih ritual yang sifatnya vertikal hubungan hamba dengan Tuhannya yang sudah jelas diktumnya bahwa berzina itu haram.
Stali tigawang, sesungguhnya tidak diperlukan sorang ustaz atau ulama hanya untuk sekedar mengatakan kepada pada PSK tersebut bahwa berzina itu haram, persoalannya bukan sama sekali mengenai pengetahuan agama namun lebih dari itu prostitusi adalah persoalan yang kental akan dimensi sosial.
@Farizalniezar
Sumber Gambar di sini