Kurang lebih satu bulan ini kita disuguhi beritas maraton soal LGBT. LGBT sendiri merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Entah dari mana pertama kali istilah itu muncul, namun yang jelas singkatan itu menjadi populer sekejap dan sejurus dengan gencarnya pemberitaan media massa.
Banyak opini dan banyak komentar soal LGBT ini. Agamawan angkat bicara, akademisi sudah mendaraakan argumennya, dan tidak ketinggalan pembela HAM juga sudah memaparkan berjuta alasan pembelaannya dalam prespektif mengadvokasi Hak-hak asasi manusia tentunya.
Sungguhpun demikian, saya sama sekali tidak tertarik untuk masuk ke dalam perdebatan dogmatik maupun akademik soal LGBT ini. Biar mereka yang lebih kompeten saja yang membahasnya. Di tulisan singkat ini justru saya ingin meneropong LGBT dari sudut pandang seorang yang pernah nyantri. Sudut pandang kuna lagi ndeso menurut kebanyakan orang modern.
Dalam pandangan saya, yang patut disoalkan susungguhnya adalah bukan pada LGBT semata, namun lebih dari itu pembelaan mengebu-gebu yang cenderung “membabi buta” dari pelbagai kalangan yang berlindung di balik ketiak HAM. Ini persoalan mendasar yang nampaknya menjadi alas bertindak para pendukung LGBT.
Ketidaklunasan dalam memahami HAM sehingga cenderung menjadikannya sebagai tedeng aling-aling untuk membela perilaku LGBT jelas tindakan yang tidak bisa dibenarkan, kalau tidak mau dibilang salah. Sebab jelas, HAM itu nisbi, sifatnya realatif. Sementara kodrat manusia itu bereproduksi dan itu menjadi semacam “fitrah” dan kewajiban manusia.
Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya manusia sama sekali tidak memiliki hak. Manusia hanya memiliki kewajiban. Logikanya begini: di dalam dunia yang fana ini, manusia taidak meiliki saham apapun dalam mekanisme kehidupan sehari-hari. Untuk mengatur kencing saja misalnya, manusia tidak akan pernah mempu menjadwalkannya. Belum lagi soal yang njliemet-njlimet semacam mekanisme mengurai makanan, mana yang protein, mana karbohidrat, dan mana sampah yang kemudian menjadi tinja. Banyangkan, sekali lagi bayangkan, kalau misalnya Tuhan hanya memberi kita tubuh dan nyawa, lalu kita disuruh ngopeni dan ngurus tubuh kita sendiri betapa repot dan tidak mungkinnya kita mengurus mekanisme kelangsungan hidup kita sendiri itu? Dus, manusia tidak memiliki saham sama sekali dalam kehidupan, makanya ia tidak memiliki hak. Justru yang ia miliki hanyalah kewajiban. Sekali lagi yang dimiliki manusia hanyalah kewajiban.
Tentu saja yang saya maksud dengan kewajiban adalah kewajiban menyembah dan menghamba kepeda Tuhan YME. Dengan alur berpikir yang demikian itu, sesungguhnya istilah yang tepat digunakan adalah Wajib Asasi Manusia bukan Hak Asasi Manusia.
Ini soal pelajaran manthiq saja. Soal pelajaran bagaimana berlogika secara benar lagi sportif. Dan di dunia pesantren cara berpikir yang demikian ini diajarkan dengan sangat sungguh-sungguh, sehingga dampaknya, sebagai santri kelak kita tidak nggumunan, tidak gampang takjub, tidak gampang ikut-ikut berkomentar terhadap sesuatu yang sesungguhnya keliru, dan yang terpenting bisa memandang karut-marut sesuatu dengan tetap mencap-mencep, ngguya-ngguyu dan tidak gampang nesu. Wallahu a’lam
@Annasaer