Pekan ini kita kembali dihebohkan oleh isu soal Gafatar. Sebuah ormas yang menurut aparat keamanan pola perekrutannya cenderung mirip dengan penculikan. Tertutup, eklusif, dan introvert.
Gafatar ternyata ada sangkut pautnya dengan tokoh feomenal Ahmad Mushadeq yang pernah mendeklarasikan diri sebagai Nabi pada tahun 2008 silam. Mushadeq, kita masih ingat, betapa dalam pembelaannya di persidangan kala itu, ia berkukuh bahwa dirinya tak pernah membawa ajaran baru. Ia hanya sebatas melanjutkan sekaligus menambal sulam kekurangan-kekurangan syariat Nabi sebelumnya yakni Muhammad Saw. Sama sebagaimana halnya Muhammad Saw yang melanjutkan serta menyempurnakan ajaran dari Nabi Isa As.
Ringkasnya dengan argumen yang “kekanak-kanakan” tersebut, dakwaan bahwa Mushadeq menista agama memaksanya untuk meringkuk di balik jeruji besi. Lalu apakah setelah dipenjara ia berhenti? Jawabannya tentu saja tidak. Hatta pernah bilang yang kira-kira ujarannya senada dan muradif belaka dengan kalimat “penjarakan aku di mana saja, asal bersama buku”. Ujaran Hatta tersebut sama persis dengan yang terjadi pada Musahadeq. Fisiknya boleh terpenjara, namun pikiran dan juga “angan-angan” dan mungkin sedikit cita-cita menjadi “Nabi” terus membara sampai kemudian lahirlah Gerakan Fajar Nusantara atau yang karib diringkus dalam akronim Gafatar.
Ada enam tahapan yang harus ditempuh oleh Gafatar dalam mewujudkan negara damai dan makmur versinya. Pertama, dakwah sirri, yakni berdakwah secara diam-diam dan terselubung. Kedua, Dakwah Jahri, yakni dakwah terang-terangan dan sudah mulai memproklamirkan diri. Ketiga, adalah Hijrah, yakni mulai berpindah menuju daerah yang diasumsikan reinkarnasi dari “Madinah”. Di Indonesia yang kebetulan diyakini adalah Kabupaten Mempwah di Kalimantan Barat.
Tahap keempat adalah qital. Gafatar harus berperang melawan musuh-musuh yang tidak sejalan dan searah pikiran dengan mereka. Peperangan ini adalah pintu awal menuju apa yang disebut sebagai tahap kelima sebagai Fath. Istilah ini saya tentu saja diadopsi dari fathu makkah yang berhasil dicapai umat Islam kala zama Rasulullah Saw. Jika dulu Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, yang kemudian menjadi ikon Islam dan diabadikan menjadi sebuah penanggalan “hijriah”, lalu kembali berhasil merebut Makkah dan peristiwa ini popular dengan sebutan fathu makkah, maka saya membayangkan bahwa Gafatar yang “terusir” dari gemerlapnya Jakarta yang merupakan simbol kapitalisme, hedonisme, dan juga sekulerisme tentunya di mana Masyarakat hidupnya satu tingkat di atas garis kekafiran, maka kelak mereka akan fathu jakarta. Mereka akan merebut kembali Jakarta dan menjadikannya sebagai destinasi ibukota syariah. Tidak ada satupun yang tidak syar’i, termasuk pakaian–pakian renang dan juga bikini harus didesain se-syar’i mungkin. Sekali lagi ini hanya perdiksi saya.
Puncak dari pelbagai tahapan “perjalanan” Gafatar adalah tahapan keenam yang disebut dengan “khilafah”. Mereka membayangkan setelah berhasil menaklukkan daerah-daerah yang “tidak syar’i”, meraka akan hidup damai gemah ripah loh jinawi, baldatun toyyibatun wa robbun ghafur di bawah panji-panji khilafah.
Jika tidak ingin dibilang utopis, maka saya hendak mengatakan bahwa rute serta track yang dipilih Gafatar terlalu telenovela menurut saya. Selain telenovela barangkali Gafatar terlalu melankolis. Pekerjaan telenovela yang diracik dengan sifat melankoli adalah mengelus-elus masa lalu. Membangga-banggakan kejayaan pendahulu. Persis dengan gerombolan yang berpendapat bahwa nenek moyang kita adalah penguasa yang hampir pernah mengarungi 2/3 dunia tapi sama sekali tidak mau mengkaji dan meneliti mengapa mereka berhasil. Bangga sekaligus menggebu-gebu akan kejayaan masa lalu, besar kemungkinan adalah untuk menutupi inferioritas di masa kini. Ini manusiawi memang.
Bahwa Gafatar keliru adalah satu persoalan, namun penindakan dan juga cara untuk mengatasinya adalah persoalan yang lain. Pada aspek penindakan inilah nampaknya hari ini kita masih tergagap-gagap. Pemerintah, sebagaimana kita ketahui, melah menjadi “peligitimasi” atas perusakan dan pembakaran kampung anggota Gafatar di Kalimantan Barat. Terang saja hal ini mengundang banyak reaksi yang cenderung mengecam.
Problemnya, pemerintah sampai saat ini baru memberi solusi karantina untuk eks anggota Gafatar. Solusi ini menurut saya adalah solusi “hangat-hangat tai ayam”. Solusi sesaat untuk meredam gejolak tanpa pernah bersungguh-sungguh mencari akar masalahnya.
Tentu saja yang dialami oleh eks pengikut Gafatar secara psikologis sangta kompleks. Di hadapan mereka sudah menunggu sebuah tembok besar atau jurang yang menganga antara dirinya dengan masyarakat tempat interaksi dan sosialisasinya dulu. Mereka harus berhadapan dengan ancaman alienasi dan pengasingan sekalgus pengucilan. Diasingkan dari komunitas atau bahkan keluarga adalah siksaan yang tak terkira, begitu kata Gustave Flaubert.
Pekerjaan rumah terbesar pemerintah hari ini adalah mencairkan suasana antara warga eks pengikut Gafatar dengan masyarakat tenpat tinggal asal mereka. Pemerintah haru memberi garansi sepenuhnya bahwa eks pengikut Gafatar yang sudah dikarantina telah bersih dari ideologi-ideologi radikalis dan ekslusif. Dan negara harus selalu hadir dalam mendampingi mereka, anggota eks Gafatr sampai kelak diterima kembali di tengah-tengah masyarakat dan komunitasnya.
Jika tidak demikian, Negara setali tiga wang dengan teroris yang menebar teror kepada anggota eks Gafatar. Wallahu a’lam bisshowab
@Farizalniezar
Sumber gambar ada di sini