JAKARTA– Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerima Aliansi Masyarakat Sipil Aceh (AMSA) yang mengadukan keberatan terhadap beberapa Qanun (Peraturan Daerah) Aceh. Sejumlah Qanun/Perda Aceh dinilai belum mampu memberikan pengayoman dan perlindungan bagi kebebasan berkeyakinan masyarakat Aceh.
“Kami melihat banyak pasal Qanun yang melawan kebebasan dan berkeyakinan. Pada Qanun pembinaan Aqidah misalnya, baru diterapkan sejak awal Januari (2016) saja sudah melahirkan vonis 4 kasus beda keyakinan,” kata Fery, salah seorang anggota Aliansi Masyarakat Sipil Aceh (AMSA) yang juga korban tragedi pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh saat mengadu ke PBNU, Rabu (21/1).
Fery mengucapkan terima kasih kehadiran Banser NU ditengah konflik pembakaran rumah ibadah di Singkil beberapa waktu lalu. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya saat itu tanpa kehadiran Banser karena aparat hanya ‘menonton’ tidak bertindak. Dari situ, lanjutnya berharap ada peran dari PBNU yang bisa mencerahkan dan menengahi potensi konflik antar umat beragama di Aceh. “Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU memiliki peran penting untuk memberikan masukan terkait rancangan-rancangan Qanun Aceh,” imbuhnya.
Sementara Ketua PBNU Prof. Dr. Maksum Mahfudz yang mewakili PBNU menegaskan sikap toleran antar umat beragama di negara berdasar Pancasila seharusnya sudah final. Toleransi, ia menambahkan bukan hanya soal kebebasan berkeyakinan, tetapi yang lebih penting adalah soal bagaimana mengkampanyekan Islam rahmat, dan soal bagaimana melindungi yang minoritas.
“Bagi NU, sejak dulu ulama nusantara mencontohkan agar yang mayoritas melindungi minoritas. Toleransi sendiri adalah protecting, promoting, bukan hanya kebebasan berkeyakinan,” tegas Rektor UNU Jakarta ini.