Saat bom Sarinah meledak, saat itu saya sedang ngopi (tanpa sianida). Ndilalah bom yang meledak di Sarinah itu juga di tempat ngopi pula, Setarbak. Tempat ngopi para muda mudi yang kece dan kelas menengah yang ngehe itu diledakkan oleh anak buah Bahru Naim yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di Muhammadiyah (katanya). Konon dialah yang mengomandani dan merencakan aksi yang sia-sia dan lebih mirip permainan tembak-tembakan anak kecil disbanding aksi terorisme tersebut.
Bom yang diledakkan di jalan Thamrin tersebut alih-alih membuat warga masyarakat takut, justru sebaliknya malah jadi tontonan yang mengasyikkan. Seperti sedang syuting film, warga menyaksikan para polisi baku tembak dengan teroris. Praktis saja, meski menewaskan 7 orang, 5 diantaranya adalah pelaku, malah dijadikan media swafoto (selfie) oleh masyarakat. Menarik.
Sejumlah aksi teror tersebut, justru membuat warga menyerukan perlawanan. Karena melawan balik itu perlu, keberanian itu menular begitu celotehan para netizen di media sosial. Menurut Teuku Kemal Fasha dalam harian Kompas (19/1) teror Thamrin gagal mengonotasikan sekaligus menyampaikan sebuah pesan. Alih-alih menjadi takut, masyarakat sekitar malah menjadikannya sebagai tontonan gratis. Dua jam setelah kejadian, penjual sate, tukang kopi keliling dan penjual kacang rebus mendapatkan berkah dari aksi teror tersebut. Ketakutan gagal menjadi wacana, lebih banyak menjadi hiburan bahkan pusat turisme dadakan.
Soal keberanian ini, Cak Nun, Emha Ainun Nadjib, dalam sebuah wawancara pernah mengatakan, rakyat Indonesia telah sukses sebagai rakyat. Mereka memiliki ketahanan dan kesabaran yang luar biasa. Setiap terjadi bencana mereka mampu bangkit kembali. Proses recovery mental ini terjadi begitu cepat dan berlangsung demikian saja tanpa menunggu waktu lama. Ingat kejadian lumpur lapindo? Bayangkan, masyarakat macam apa yang mampu merekayasa bencana lumpur menjadi objek wisata? Mesyarakat model bagaimana yang bisa menyulap kesedihan menjadi hiburan bahkan bahan tertawaan? Kecuali di Indonesia, Saya tidak yakin hal itu bisa kita temukan di belahan dunia manapun.
Lihat saja perangai kekhusyukan tukang sate yang ramai diperbincangkan. Lelaki sepuh itu tetap mengibas-ngibaskan kipasnya ke kanan dan kekiri sembari berkonsentrasi penuh pada barang dagangannya tanpa seolah tak pernah terjadi apa-apa di sekitarnya. “Teror ya teror saja, saya tetap akan mati-matian khusyuk menjual dagangan saya demi kelangsungan hidup anak istri di rumah” mungkin itu yang ingin disampaikan oleh si Tukang Sate.
Bahkan kabar keberanian bapak Jamal, Si Tukang sate yang khusyuk itu, menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan seorang warga asing pertama kali mengunggah pemandangan itu ke media sosial. Mungkin pemandangan ini aneh bagi si Asing tersebut, Pak Jamal yang tetap santai kipas-kipas menjajakan daganganya meski 100 meter dari lokasi jualannya bom meledak tiga kali. Tapi bagi yang memahami psikologi masyarakat Indonesia, maka sesungguhnya yang dilakukan Pak Jamal dan pedagang-pedagang lain yang masih “ider” menjajakan dagangannya di tengah “mini peperangan” itu adalah hal biasa.
Rakyat Indonesia biasa hahahihi. Santai dan woles dalam menjalani hidup sehari-hari. Utang boleh menumpuk, tapi kebahagiaan harus tetap jalan terus. Tak boleh ada yang merenggut kebahagiaan dalam mejalani kehidupan, termasuk terror.
Rakyat Indonesia tidak pernah takut oleh apapun kecuali oleh rasa takut itu sendiri. Oh iya dan satu lagi rakyat Indonesia katanya hanya takut sama cegatan polisi (razia STNK). Wallahu a’lam
@Annasaer
Sumber Gambar di sini