Terus terang saja dan jujur, baru saat munas NU tahun 2015 yang dihelat pada sekira bulan Juni kemarin pertama kali saya melihat langsung presiden Jokowi berpidato terhitung sejak pelantikannya dulu. Langsung-langsung amat sih tidak, sebab saya melihatnya dari teve. (buka tivi, ingat TVRI dieja TeVe RI).
Saya itu termasuk orang yang gagap dan tidak mengerti politik. Tapi, tolong dicacat, saya paham bahasa tubuh orang bingung. Nah berdasarkan pangamatan individu, saya akhirnya memberanikan diri mengambil sebuah keputusan bahwa Jokowi nampak sekali dalam pidato itu terlihat jelas sebagai orang yang bingung.
Saya penasaran, hati kecil saya menyatakan jangan-jangan ia hanya bingung dan grogi membacakan pidato sebab batok kepalanya sibuk mengafalkan salam ala NU yang berbunyi wallahul muwaffiq ila aqwamith thorieq.
Rasa penasaran saya, membawa naluri saya untuk segera membuka laman yutub. Saya melihat, mencari, menemukan dan mengamati pidato-pidato Jokowi setelah ia dinobatkan jadi presiden. Kesimpulannya? Tetap saja, ia terlihat sebagai seorang yang bingung.
Kita semua mafhum bahwa di hadapan seorang yang bingung dan tidak tahu apa-apa, data sebagus apapun tidaklah ada artinya. Sama persis ketidakada artian kita di hadapan mantan.
Kerap kali ketika berpidato ia blepotan, baik bahasa maupun intonasinya, seolah ia sedang menutup-nutupi kebingungannya. Bahkan saya sempat curiga jangan-jangan ia memang tidak berhasarat membaca secarik kertas berisi pidato yang telah susah payah dibikinkan ajudannya itu?
Jangankan untuk sebuah pidato yang bertele-tele dengan paragraf yang kerap kali mengandung kalimat majemuk bertingkat yang membingungkan, sedangkan surat yang nyata-nyata hanya berjumlah secarik saja ia malas membacanya.
Times mengabarkan “I dont read what I sign”. Kita lantas bertanya kepada aktifis penggerak literasi, apakah adil hidup ini? Di saat kalian bertungkus lumus matia-matian mengampanyekan budaya membaca, presiden mu malah menjadi antitesa gerakanmu pada posisi yang terdepan. Menurutmu, jika medapati hal yang demikian, sakitnya itu di mana?
Akhirnya, pengembaraan yutub saya berujung pada pembandingan antara pidato Jokowi dengan SBY. Kontras memang, yang satu tertata rapi dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar namun kaku, sementara yang lain semrawut, ruwet, dan belepotan, namun luwes meskipun agak compreng didengar.
Yang justru menjadi daya pikat bagi saya dari hasil membandingkan dua gaya pidato tersebut adalah saya jadi tahu bahwa jika SBY adalah peragu maka Jokowi adalah pen-tidak tahu. Saya tidak mengerti istilah pen-tidak tahu ini benar atau tidak, namun apalah saya di hadapan belantara rimba raya kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Ragu, kita tahu, adalah sebuah keadaan ketika seseorang bimbang dalam mengambil sebuah keputusan. Ia terlihat lamban dan selo. Itu tanda-tanda orang ragu. Di balik keraguan itu, sesungguhnya ia memahami masalah, atau paling tidak masih tetap berusaha memahami sebuah masalah untuk kemudian bisa dikatakan mengerti dan menguasai masalah. Urut-urutannya adalah ada persoalan, ia dihapakan pada beberapa pilihan, ia menimbang-nimbang mudarat-manfaatnya, lalu timbullah keragu-raguan dalam menyikapinya. Itulah SBY.
Adapun Jokowi, kita masih ingat beberapa keputusannya yang ujuk-ujuk. Paling monumental katakanlah kenaikan BBM yang tetiba saja, tanpa ada pengumuman dan pemberitahuan sebelumnya. Ia tidak ragu sama sekali, namun terlihat jelas antara pengambil keputusan yang tidak ragu sebab tahu persoalan dengan pengambil keputusan yang tidak ragu sebab tidak mengerti urusan. Nah, maqam Jokowi adalah maqam yang tidak tahu urusan ini, sehingga kerap kali ini bingung dengan keputusannya sediri.
Penunjukan “the father of transjakarta” Sutiyoso sebagai kepala telik sandi negara (BIN) juga demikian adanya tiba-tiba saja dan megejutkan jagad raya. Orang jadi ragu apa benar itu keputusan sadarnya, jangan-jangan ia sedang kena gendam. Tapi ya itu tadi, alasan paling rasional yang sebab ia tidak tahu, ia tidak mengerti, kata sifatnya ia pen-tidak tahu, setingkat di bawah peragu.
Oleh karenanya, kepada pak Jokowi saya berpesan menjadi presiden itu susah, apalagi bapak tidak berpengalaman. Sekarang bapak bisa lihat bapak ditekan sana sini. Hajatan ngunduh mantu saja jadi sorotan. Padahal kan harusnya tidak begitu.
Ada baiknya bapak berfikir, demi kebaikan dan ketenteraman keluarga bapak agar tidak terus menerus hidup di bawah tekanan, lebih baik bapak anu sajalah. Bapak paham kan? Menjadi presiden kan tidak harus lima tahun, iya kan pak?
Fariz Alniezar
@Farizalniezar
Sumber gambar dari sini