“Hidup di zaman sekarang susah sekali berbuat adil mas!”
Seseorang tetiba mencolek punggung saya begitu saja di warung kopi, sesaat setelah saya berbicara serius soal ketidakadilan para “haters” Jokowi yang auhai sangat keterlaluan dalam “membenci” setiap kebijakannya itu. Rupanya lelaki itu mendengarkan sekaligus memperhatikan saya sejak dari awal perbincangan yang saya selenggarakan sore itu di warung kopi di bilangan Matraman.
Belum sempat saya menjawab, lelaki itu kembali menambahi kalimatnya “Lha wong Pram saja bilang di novelnya “manusia terpelajar harus adil sejak dalam pikiran”.
Lha dalah, kondang tenan, lelaki ini adalah pembaca novel. Saya takjub dan terkesiap. Di zaman sekarang, saaat gawai menjamur melebihi jumlah penduduk, masih ada seorang “berperawakan biasa-biasa saja” yang bersetia membaca novel. Dan tidak main-main yang dibaca adalah Novel Pram, Pramodya Ananta Toer, satu-satunya penulis Indonesia yang pernah dikandidatkan meraih nobel. Edyan.
Berangkat dari percakapan itu saya hendak urun rembug soal berfikir dan berlaku adil di kolom ini. Ini memang ndak penting tapi perlu. Hidup di zaman “haters” yang hidupnya selalu diselimuti kebencian sejak dalam pikiran dan kandungan rasanya sangat sulit untuk menemukan secercah keadilan. Apalagi arus politik yang menyeret kita menjadikan sedemikian “oposisi biner”.
Kita diam-diam gagal beranjak dari peristiwa politik pemilihan presiden yang menyeret kita menjadi orang yang serba simplifistik, kalau bukan pendukung si A berarti anteknya si B. Kalau bukan simpatisan calon A berarti pemuja si B, begitu seterusnya.
Kita menjadi sedemikian gegabah dalam menilai. Kita mudah menjatuhkan penilaian tanpa dulu memilah dan memilih data, bersikap objektif, mengunyah informasi tanpa harus menelaahnya terlebih dahulu. Meminjam analisis para pakar, kita menjadi masyarakat “sampah informasi”. Sebab nyatanya hari ini kita dikuasai informasi, bukan malah menguasai informasi. Buktinya? Jelas, produk cara berfikir yang “oposisi biner” dan cenderung simplifistik adalah cara berfikir masyarakat yang “kering” akibat tak memiliki kemampuan mengunyah informasi yang demikian biak dengan cara yang baik.
Seorang wartawan, menulis sebuah berita yang bersumber dari ciutan tuitter anak Presiden. Wartawan itu nampaknya gagal memahami mana bahasa satir mana bahasa serius. Wartawan tersebut tak mampu lagi menangkap “nuansa” bahasa dan konteks logika dari ciutan anak Presiden itu. Imbasnya tentu saja sang wartawan menanggapi “sarkasme” anak Presiden, dan memberitakannya” dengan nada serius. Begini bunyi beritanya “Jokowi Ditegur Putra Bungsunya karena Salah Mencari Kecebong”.
Saya jadi teringat Pak Sapardi Joko Damono. Ia mengatakan bahwa jika manusia tak mampu menagkap “nuansa” bahasa maka cilakalah dia. Kita bilang begini tapi ditangkapnya begitu.
Nah, dalam konteks berlaku adil, Berlakulah adil terhadap apa saja, siapa saja serta fenomena bagaimana saja.
Konon manusia, dan memang kenyataanya demikian, tidak bisa berlaku, bertindak bahkan bicara secara adil jika sudah menyangkut urusan perut ke bawah [kelamin]. Ada sejuta contoh, korupsi, poligami, selingkuh dan lain sebagainya dan lain sejenisnya. Oleh sebab itu, udel itu diletakkan oleh Tuhan [tidak secara iseng] di sekitar perut dan kelamin manusia. Ini sasmita bahwa tantangan terbesar manusia sebetulnya adalah menjaga harmoni keadilan di teritorial udel dan sekitarnya tersebut.
Singkatnya, demikianlah epistemologi udel. mengenai apakah udelmu bodong atau tidak itu bukan persolan. Justru yang jadi pertanyaan adalah sebagimana pernah dilontarkan M. Natsir apakah nabi Adam itu punya udel?
Soal adil dan udel ini saya jadi teringat penyanyi favorit saya si “humul” yang selalu memendam dirinya di balik gemerlapnya selebrasi sebritas, Adele. Penyanyi bernama asli Ad Lauirie Adkins ini, bayangkan, ia menyimpan piala-piala yang berhasil dicapainya di toilet rumahnya.
Ia berpendapat bahwa pencapaian terbesar saya adalah menjadi ibu rumah tangga, anak-anak, dan juga suami saya. Mereka semua lebih layak berada di ruang utama rumah, bukan deretan piala itu.
Adil, Udel, dan Adele memang berkait kelindan, je.
Wallahu a’lam bisshowab
@Farizalniezar
Sumber Gambar di sini