JAKARTA- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung langkah pemerintah membekukan dana ‘liar’ yang sangat besar yang diduga milik kelompok teroris. Langkah pemutusan logistik terorisme dinilai tepat untuk mempersempit gerak terorisme di Indonesia.
“Sudah benar langkah pemerintah membekukan dana yang ditengarai untuk operasional kelompok terorisme. Langkah itu bisa mempersempit gerak terorisme di Indonesia,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Ishfah Abidal Aziz di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (30/12).
Kang Alek- sapaan akrab Ishfah Abidal Aziz- menjelaskan melihat kondisi global dimana pergerakan terorisme semakin meluas, tidak mustahil akan mengarah ke area Asia Tenggara bahkan Indonesia. Indikasi, lanjutnya sudah ada dengan banyaknya kasus terorisme yang diungkap kepolisian.
“Langkah antisipasi sangat diperlukan sedini mungkin untuk menjaga bangsa Indonesia menjadi area terorisme dan proxy war berbagai pihak. Indonesia ini seksi apa saja ada, maka akan banyak tangan yang melancarkan provokasi yang dapat dipastikan akan ditunggangi kelompok terorisme seperti ISIS,” tegas Kang Alek pria asal Madiun ini.
Seperti diketahui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membekukan dana sebesar Rp 2.083.684.874 yang bersumber dari 26 rekening yang diduga berkaitan dengan tindak terorisme. Pencapaian itu terwujud setelah Mahkamah Agung RI, Kementerian Luar Negeri, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Kepala PPATK sepakat untuk menyusun suatu Peraturan Bersama tentang Pencantuman Identitas Orang dan Korporasi Dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris, dan Pemblokiran Secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum Dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dampak positif diterbitkannya peraturan bersama itu adalah keluarnya Indonesia dari daftar hitam badan pengawas pencucian uang internasional, Financial Action Task Force (FATF). Sebelumnya, Indonesia masuk daftar hitam negara-negara yang paling banyak melakukan praktik pencucian uang menurut penilaian FATF.