“ Anak Ayam tak Boleh Kehilangan Induknya”
Beberapa hari ke depan kita akan segera tinggal landas meninggalkan tahun 2015 dan segera memasuki babak baru tahun 2016. Banyak peristiwa, banyak pengalaman yang sudah kita lewati bersama.
Mendapati aneka peristiwa itu, Kami, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencermati beberapa catatan reflektif yang kita bagi menjadi beberapa narasi yakni: Krisis Kepemimpinan, Instabiltas Politik, dan melemahnya Kohesivitas Sosial serta Toleransi dalam Beragama.
Krisis Kepemimpinan dan Instabilitas Politik
Badan Pusat Statistik merilis Per-November 2015 bahwa Indonesia hari ini masih berkutat pada: Lemahnya nilai tukar rupiah, menurunnya ekspor, meningkatnya hutang luar negeri, menurunnya cadangan devisa, meningkatnya inflasi, menurunnya nilai tukar petani, meningkatnya angka kemiskinan, serta meningkatnya pengangguran.
Delapan indikator tersebut menurut kami adalah buah dari akar masalah yang kita sebut dengan krisis kepemimpinan. Krisis kepemimpinan menjadikan seluruh nadi kehidupan menjadi karut marut dan tidak stabil. Rakyat tak ubahnya anak ayam yang kehilangan induk.
Elit kerap bertikai. Wakil rakyat berebut kekuasaan hingga pelanggaran oleh ketua Dewan Perwakilan Rakyat adalah bukti sahih bahwa para elit sama sekali tidak bisa memberikan keteladanan bagi rakyat. Rakyat kehilangan referensi dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini semua secara tidak langsung berdampak pada instabilitas politik.
Puncak dari instabilitas politik dan krisis kepemimpinan tersebut adalah sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Utara. Kantor Gubernur dibakar oleh massa yang tidak puas dengan hasil pilkada.
Di lain pihak, di tengah instabilitas politik tersebut PBNU mengapresiasi pelantikan dan pengambilan sumpah terhadap 5 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru. PBNU percaya bahwa para pimpinan KPK yang baru adalah orang-orang berintegritas tinggi. Proses seleksi yang ketat dan panjang tentulah menghasilkan orang-orang pilihan.
Kohesivitas Sosial Lemah, Toleransi dalam Beragama Rendah
Pada hemat kami, ada tiga hajat hidup utama yang negara harus hadir memberikan jaminan kepada rakyatnya. Pertama, nyawa, kedua harta, ketiga martabat. Tiga hal tersebut menurut kami adalah tanggungan dan kewajiban negara yang harus ditunaikan kepada setiap rakyatnya.
Keamanan adalah kata kunci utama yang mau tidak mau harus hadir dan dirasakan oleh seluruh rakyat. Negara harus memberi rasa aman nyawa dari segala ancaman dan teror yang kian hari kian merebak dan meresahkan. Terorisme hari ini bisa terjadi kapan, di mana, oleh dan kepada siapa saja.
Teror yang sedemikian menjamurnya adalah PR besar bagi negara untuk lebih intens sekaligus serius dalam usaha-usaha deradikalisasi atau usaha-usaha peredaman teror lainnya. Sebab tanpa usaha itu berarti negara sudah “tidak hadir” di kehidupan rakyatnya.
Yang lebih memprihatinkan, gerakan radikalisme dan terorisme yang terlahir dari cara berfikir yang cenderung fundemantalis itu mulai masuk menyusup pintu-pintu birokrasi. Hal ini bisa kita temukan di Bogor, seorang walikota terindikasi telah terjangkit virus fundamentalisme.
Surat Edaran Nomor 300/1321-Kesbangpol yang berisi larangan terhadap “Perayaan Asyura (Hari Raya Kaum Syiah) di Kota Bogor”, Kamis 22 Oktober 2015 adalah salah satu indikasi kuat bahwa radikalisme yang terlahir dari sikap eksklusif dan fundamentalis itu telah menyasar ke ranah birokrasi.
Di samping itu menurut rilis BNPT per-September 2015 tercatat tidak kurang dari 500 WNI berangkat ke Syuriah dan bergabung dengan ISIS. Untuk isu yang terakhir ini, PBNU mendesak pemerintah untuk mencabut kewarganegaraan setiap WNI yang tercatat bergabung dengan organisasi fundamentalis di luar negeri, termasuk salah satunya ISIS, sesuai dengan UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006.
Peristiwa pembakaran masjid di Tolikara pada medio Juli 2015 adalah bukti bahwa ada ancaman serius pada semangat toleransi di negeri ini. Kami sangat kecewa berat dan menyayangkan terjadinya peristiwa Tolikara di saat bangsa ini membutuhkan kesatuan yang kokoh di era globalisasi. Bangsa Indonesia, apapun agamanya, apapun sukunya, apapun partai politiknya, apapun alirannya harus bersatu memasuki era globalisasi ini.
Terakhir, kami sangat bersyukur pada tahun 2015 ini terutama di penghujung tahun ada dua peristiwa besar yang harus kita syukuri, yakni Maulid Nabi Muhammad SAW dan Perayaan Hari Natal 2015 yang jatuh tepat pada tanggal 24 dan 25 Desember 2015. Berkenaan dengan itu semoga kerukunan dan toleransi antar umat beragama di Indonesia semakin membaik.
Selamat Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW 1437 H dan Selamat Hari Natal 2015
وَاللهُ الْمُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيْق
Jakarta, 23 Desember 2015