Sebagai orok yang ditakdirkan lahir di Lamongan, saya lebih fasih bercerita tentang Jombang. Saya lebih karib dengan kota berlambang ringin contong ini karena separuh dari masa-masa remaja, saya habiskan di kota itu. Alhasil itulah sebabnya saya lebih lancar jika disuruh bercerita tantangnya dibandingkan dengan kota kelahiran saya sendiri.
Jombang konon merupakan akronim dari ijo dan abang. Saya sendiri belum pernah meneliti secara serius asal-muasal Akronim ini. Saya termasuk orang yang percaya dengan piranti ilmu othak-athik-gathuk yang menjadi semacam instrumen atau alat dalam membedah sesuatu oleh orang-orang jawa.
Ringkasnya akronim Jombang itu perpaduan antara warna ijo dan abang.
Jika kita belajar pada J. Austen pakar linguistik yang tekun dan cantik itu, ia mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum. Sebangsa hewan yang berinteraksi menggunakan simbol. Maka menarik mengkaji terminologi Jombang ini sebagai sebuah simbol. Perlambang ijo mendedahkan kepada kita bahwa ia jika meminjam tesisnya Hiroko Horikhosi adalah simbol kaum santri. Sebuah terma yang dipergunakan oleh Clifford Greetz untuk meringkus sesiapa saja yang taat beragama saat itu.
Sementara abang (Merah) hendak menegaskan kepada kita bahwa di kutub seberang ada masyarakat yang abangan. Artinya santri dan abangan menjadi berbaur sedemikian rupa di Jombang. Perbauran itulah yang kemudian menjadi adonan yang kemudian hari menjadikan Jombang sebagai kota yang dihuni oleh manusia-manusia yang dalam batok kepalanya sudah ada kontradiksi-kontradiski. Catat, kontradiksi sejak dalam pikiran. Santri sekaligus abangan, pinter sekaligus cuek, intelek sekaligus klenik.
Ambil contoh, Jombang melahirkan sosok yang lolos dari teori manapun di dunia ini yang bernama Abdurrahman Wahid. Intelektual, Kiai, seniman, budayawan, pengamat sepakbola, kolumnis, dan tentu saja politikus. Dalam sosok seorang Gus Dur terdapat aneka kutub yang sesungguhnya saling berseberangan namun ajaibnya kutub-kutub tersebut bisa bersatu, indah dan akhirnya teringkus dalam slogan monumental Gitu saja kok repot.
Jombang melahirkan Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang kita tidak ragukan lagi saldo intelektualitasnya. Namun di saat yang sama Jombang juga melahirkan Asmuni, Gombloh dan juga Ponari yang aduhai fenomenal memusingkan kepala. Dan yang penting untuk dicatat Jombang juga melahirkan tokoh ekstrimis-radikalis nomor wahid di Indonesia Abu Bakar Ba’asyir. Kecuali itu, dari Jombang pulalah lahir seorang Ryan si tukang jagal yang sempat mebuat geger Indonesia.
Menjadi penduduk atau hanya sebatas orang yang berdomisili di Jombang sangatlah berat kerena dua alasan. Pertama, karena Jombang tidak memiliki iklim sepakbola yang bagus. Sebetulnya ia memiliki klub sepakbola yang entah divisi apa, namun klub sepakbola yang belakangan diberi nama PSID (Saya bingung memikirkan kepanjangannya sampai-sampai saya mimisan) itu entah mengapa selalu tak menampakkan keseriusan dalam urusan tendang-menedang bola. Ringkasnya sepakbola Jombang memang payah. Sangat payah.
Kedua, karena Jombang bukanlah tipologi kota yang labil dan cenderung gandrung budaya pop ala anak cabe-cebean saat ini. Jombang bukan produsen artis begituan. Rasanya mustahil Duo Serigala itu lahir di Jombang, apalagi goyang dribble-nya yang aduhai anu itu pasti tidak mungkin lahir dari kantung kebudayaan masyarakat Jombang karena goyang dribble itu merujuk pada dribble permainan basket bukan sepakbola. Nah terhadap sepakbola saja Jombang itu sedemikian cuek apalagi terhadap basket.
Singkat riwayat, datanglah ke Jombang niscaya antum (gaya PKS Piyungan) akan tahu bahwa perbedaan itu bukan untuk diceraikan tapi untuk dikawinkan. Ituh! (Gaya Mario Teguh).
Fariz Alniezar
@Farizalniezar