JAKARTA– Suasana aula lantai 8 Gedung PBNU penuh sesak dengan lautan manusia, tidak biasanya wartawan dari luar negeri juga ikut meramaikan. Tak kurang media asing seperti BBC dan ABS-CBN News Channel terlihat hadir di acara nonton bareng film Rahmat Islam Nusantara ‘mahrajan (festival)’ wali-wali jawi. Film semi dokumenter ini berisi tentang perkembangan islam dan perjuangan wali songo menyebarkan agama islam tanpa konfrontasi dengan budaya setempat, bahkan mengikuti budaya nusantara.
Seperti yang disampaikan sejarawan NU Agus Sunyoto, yang mengatakan penduduk jawa kuno beragama kapitayan yang menyembah sanghyang taya dan mempunyai tempat sesembahan seperti langgar yang kita kenal sekarang. Islam masuk bukan merusak atau mengintimidasi agama kapitayan, tapi ikut budaya mereka, sehingga dalam mengajak terminologi kaum kapitayan yang dipakai bukan term arab. “Kecerdasan para wali dalam menyebarkan islam tergambar dalam pemilihan terminologi, bukan term sholat yang dipakai untuk mengajak kapitayan ke agama islam tapi sembahyang,” tutur Agus Sunyoto dalam film berdurasi 90 menit tersebut saat diputar di lantai 8 Gedung PBNU, Kamis (10/12).
Bule setengah baya, Kief tidak menyia-nyiakan waktu untuk bertanya kepada Ketua Umum PBNU Prof. KH. Said Aqil Siroj saat dibuka sesi tanya jawab. Kief yang bekerja sebagai wartawan BBC menanyakan tentang kekakuan hukum islam seperti rajam. Buya Said- panggilan akrab Prof. KH. Said Aqil Siroj- menjelaskan secara lembut dengan suara rendah tanpa berteriak-teriak, bahwa Rasulullah Muhammad SAW menjalankan hukum rajam sepanjang hidupnya hanya dua kali, itupun karena yang bersangkutan yang meminta bukan Rasulullah SAW.
“Ada perempuan datang ke Rasulullah SAW mengaku telah zina dan meminta di rajam, tetapi Baginda Rasul mengatakan tunggu kalau hamil, selang beberapa bulan datang lagi bahwa telah hamil dan meminta di rajam. Rasul tidak serta merta beliau menuturkan tunggu hingga lahir, ketika lahir perempuan itu datang lagi ini anak hasil zina saya, Rasul menjawab tunggu hingga mandiri. Setelah si anak usia 2 tahun, perempuan itu datang lagi dan meminta dirajam,” jelas Buya Said.
Kesempatan tanya jawab dimanfaatkan sejumlah media asing menanyakan keseriusan NU dalam mengkampanyekan Islam Nusantara di kawasan negara-negara muslim yang tengah dilanda konflik seperti Syuriah, Afganistan, dan Libanon. Diantara pesannya, film Wali Songo ingin mengetengahkan sebuah fakta mengenai Islam ala Nusantara, yang berhasil dikembangkan di tanah Jawa. Namun menurut mereka belum tentu bisa diterapkan di daerah lain semisal Timur Tengah.
“Kita tawarkan kepada dunia tentang bagaimana Islam harus memainkan perannya di tengah-tengah masyarakat dunia,” kata Katib ‘Aam PBNU KH. Yahya Cholil Staquf.
Sekjen PBNU H.A. Helmy Faishal Zaini mengatakan, kekerasan atas nama agama sesungguhnya berlatar belakang dari pemahaman yang belum selesai tentang agama. Beberapa kasus radikalisme dan terorisme menurutnya lebih banyak disebabkan oleh pemahaman yang keliru dalam meletakkan posisi dan hubungan antara agama dan negara.
Pendekatan akulturasi Islam dan budaya lokal sebagaimana diajarkan Wali Songo melahirkan Islam Nusantara yang sejuk dan berkarakter. “Ini inspirasi bagi masa depan peradaban dunia,” papar Helmy.
Film “Rahmat Islam Nusantara” digarap awal 2014 lalu atas kerjasama GP Ansor NU dan Perhimpunan Pemangku Auliya Se-Jawa. Film ini merupakan dokumentasi dari serangkaian kegiatan selama 6 minggu di 10 titik makam Wali Songo plus Wali Tebu Ireng (Gus Dur). KH. Mustofa Bisri disebut aktif sebagai Produser Eksekutif dan Sutradara Wakil Ketua Lesbumi NU M Jadul Maula.