Di sebuah sudut ruangan, malam itu terlihat samar-samar seorang lelaki sedang membuat konsep dengan raut dan mimik yang sangat tekun. Dari caranya duduk terlihat jelas ia sedang memikirkan sesuatu hal sangat besar. Nampaknya di atas meja itu, sebuah meja yang teronggok tua yang sudah nampak lunglai di hadapan lelaki itu, terbentang sebuah harapan tentang landasan berfikir, bersikap dan bertindak sebuah organisasi besar.
Nahdlatul Ulama (NU), begitulah mungkin yang selalu ada dalam ingatan dan fikirannya setiap hari. Ia, lelaki itu, betapa sangat mafhum dengan fasih mengeja cita-cita dan keinginannya bahwa sebuah peradaban manusia akan menemui puncaknya tatkala mereka bersatu dan berkelompok. Manusia harus berorganisasi. Begitulah kira-kira yang ada di dalam benaknya.
Ya, sekelumit gambaran tatkala lelaki itu ikut membidani konsep Khittah NU itu saya peroleh dari salah seorang dekatnya. Lelaki brilian yang banyak meninggalkan jejak-jejak kebaikan dan ukiran tinta emas di Nahdlatul Ulama (NU).
Bermula dari kegelisahan dan semangat jiwa mudanya, gagasan untuk mengembalikan wadah yang ia cintai, yang tidak boleh larut dalam karut-marut politik ia tuangkan dalam Khittah Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama (NU) menurutnya harus tetap berpegang teguh pada tujuan awal, sebagai sebuah organisasi keagamaan dan istiqomah merawat umat.
Perihal gagasannya itu, ia menawarkan dua alternatif pada waktu itu untuk mengembalikan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi soaial keagamaan. Pertama, mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan menyerahkan kepada politisi Nahdlatul Ulama (NU) untuk membentuk wadah baru sebagai partai politik yang menggantikan kedudukan Nahdlatul Ulama (NU). Kedua, membentuk semacam biro politik dalam Nahdlatul Ulama (NU). Biro ini berada dalam struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) yang mengurusi soal-soal politik. Sedang Nahdlatul Ulama (NU) sendiri tetap berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan bukan sebagai partai politik. Namun, sayang seribus sayang, gagasan brilian ini nyatanya kala itu tidak mendapat tanggapan peserta Muktamar.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia tak sendiri. Sebuah harapan besar akan berakhir dengan isapan jempol belaka jika kita bekerja sendirian, begitulah yang ada dalam benaknya. Bersama Fahmi Ja’far Syaifuddin, Said Budairy, Umar Basalim, Ikhwan Syam, Masdar Farid Mas’udi dan Abdullah Syarwani, belakangan muncul nama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mereka semua bergabung dan mendirikan kelompok “G”, sebuah kelompok yang berdomisili di Mampang kediaman jurnalis yang disegani di lingkungan NU, Said Budairy.
Tidak berhenti sampai di situ, harapan akan cita-citanya ia inisiasi kembali dengan membuat wadah yang dinamai dengan “Majlis 24” yang terdiri dari KH. Sahal Mahfudh, Gus Dur, Gus Mus, dr. Asif Hadi Pranata, dan Mahbub Junaidi.
Lepas diterima atau tidaknya konsep-konsep yang ditawarkan olehnya, yang penting untuk dicatat adalah kegigihan lelaki ini dalam memperjuangan cita-cita bagi kebaikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat dicintainya. Sebuah kegigihan yang tidak semua orang bisa memilikinya.
Ya lelaki itu, adalah sosok lelaki yang lahir di Purwokerto Jawa Tengah pada 12 Januari 1948, bernama Slamet Efendy Yusuf. Ia Putra pertama dari empat bersaudara pasangan KH Yusuf Azhari dan Hj. Umi Kulsum. Ia dibesarkan dalam lingkungan santri. Jiwa kepemimpinanya tumbuh saat aktif dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan saat duduk di bangku kuliah, ia aktif dalam kepengurusan PMII dan Dewan Mahasiswa IAIN Jogjakarta. Sampai setamatnya dari bangku kuliah, ia aktif di Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), bahkan ia tercatat dua periode berturut-turut menjadi Ketua Umum GP Ansor yakni 1986-1990 dan 1990-1995.
Ia juga mendirikan dan menjadi Pemimpin Redaksi Warta NU, sebuah media untuk kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan sempat menjadi redaktur majalah Risalah Islamiyah, Risalah NU, Jurnal Kebudayaan dan Jurnal Pendidikan. Karena pengalamannya dalam berorganisasi dan melahirkan banyak pemimpin-pemimpin muda maka pantas ia dijuluki “Sang Guru Kader”.
Mas Slamet, kami biasa memanggilnya demikian adalah sosok diantara beberapa sosok yang “tidak boleh tua” di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Selain Mas Slamet, beberapa sosok lain yang saya maksud adalah Gus Dur, KH. A. Mustofa Bisri, dan tentu saja KH. Said Aqil Siroj. Nama-nama tersebut, diam-diam tidak kita relakan untuk menjadi tua—jika memang masa tua itu identik dengan dekatnya kematian–.
Pada Mas Slamet kami belajar bahwa hidup harus disiplin dan selalu menjaga kesehatan. Soal kesehatan ini, ada suatu cerita menarik yang dituturkan oleh sahabat-sahabat yang sering nongkrong di PBNU. Suatu ketika tatkala beliau sedang menuju lift di lantai 5 gedung PBNU, tiba-tiba beliau menghentikan langkah lalu balik badan dan berjalan menuju arah ruangan yang sesungguhnya sudah beliau lewati. Beliau masuk ruangan, terlihat kepulan asap yang membumbung tinggi di ruangan itu, Nampak beberapa pemuda sedang menghisap udud dengan asyik. Mas Slamet masuk, “NU menjaga kesehatan kan? NU Menjaga Kesehatan kan? Itu ada jendela, tolong dibuka” Jarinya sambil menujuk fentilasi udara yang memang dibiarkan tertutup sehingga menghelang-halangi jalan keluarnya kepulan asap.
Demikianlah, Mas Slamet memang guru sejati. Kalau kita sepakat dengan KH. Said Aqil Siroj yang mengatakan bahwa guru sejati tak pernah menggurui, maka kalimat itu dalam pandangan saya sangat pantas disandang oleh Mas Slamet. Ia guru tanpa pernah berniat menggurui sama sekali.
Selama jalan mas.
@annasaer