Sepagi tadi saya menemukan tumpukan buku yang hendak dibuang oleh mantan pacar saya (Istri dan Ibu anak saya). Diantara sekian tumpuk buku itu, ada duku karya wartawan legendaris Mochtar Lubis yang saya dapatkan dari tukang rongsokan dan loakan barang bekas dengan harga Rp. 10.000. Separuh keyakinan saya mengatakan bahwa sangat mungkin si tukang loak tersebut mengira buku itu tak lebih dari sekedar buku usang dan sudah tidak laik dibaca.
Buku itu sangat mengagumkan. Berisi ulasan tentang ciri khas masyarakat Indonesia pasa medio 1977 yang sesungguhnya merupakan transkripsi dan pengembangan pidato kebudayaannya bertajuk ”Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban)” di Taman Ismail Marzuki. Dan sampai hari ini saya kira buku tersebut masih sangat relevan menggambarkan ciri masyarakat Indonesia.
Saya membaca buku itu berulang kali. Saya menghatamkannya berkali-kali. Selama berkali-kali itu pula saya selalu menemukan hal yang sama, rasa terkoreksi yang sangat dalam. Kadang malu, sering juga bangga.
Malu, terang saja. Sebab di buku tersebut diungkapkan bahwa ciri pertama masyarakat Indonesia adalah hipokrit. Dalam bahasa santrinya hipokrit berarti munafik. Sifat munafik adalah seburuk buruknya sifat. Bayangkan, Nabi pernah mengeluarkan statemen begini: 1 munafik itu lebih berbahaya dengan 1000 kafir.
Artinya tingkat kekesusahan menghadapi 1 orang munafik secara kualitatif itu setara dengan 1000 orang kafir. Sebab orang munafik itu tidak bisa dirumuskan. Sikapnya mencla-mencle, dan yang paling jahat adalah mereka memiliki kepura-puraan.
Ihwal kepura-puraan itu, saya jadi teringat dengan Arswendo Atmowiloto. Dalam novelnya “Blakanis”, ia mengatakan bahwa musuh utama dari kejujuran bukanlah kebohongan, melainkan kepura-puraan”. Soal berpura-pura ini adalah keahlinan utama orang yang munafik dan hipokrit tadi.
Apa yang dikatakan oleh Arswendo memang benar adanya. Kepuran-puraan adalah musuh utama kejujuran. Orang bohong masih bisa diidentifikasi serta diinterogasi, tapi tidak demikian dengan orang yang munafik dan gemar berpura-pura.
Pada etape inilah saya, sebagai bagian terkecil dari “manusia Indonesia” merasa sangat malu dan terkoreksi. Saya merasa dihujam panah berkali-kali. Betapa dalam hidup dan keseharian kita, masih menjamur kita temukan sikap-sikap hiprokisi yang sangat akut.
Tapi bukan berarti saya tidak menemukan kebahagiaan dalam membaca buku Mochtar Lubis itu. Sebab di kutub seberang saya menemukan ciri menarik dan unik sekaligus otentik ihwal ciri utama manusia Indonesia.
Ciri yang saya maksud itu adalah ciri artistik dan kreatif. Ciri ini bisa dilihat dari, misalnya menurut saya, fenomena odong-odong. Karena sifatnya yang mengembangkan daya artistik yang besar maka masyarakat kita bisa menuangkan segala rupa ciptaanya dalam bentuk kerajinan yang sangat indah dan banyak varian tipenya.
Odong-odong ini, menurut saya, adalah sebuah moda semi transportasi yang memadukan antara imajinasi dengan daya artistik yang sangat tinggi. Mustahil odong-odong ini bisa dilahirkan oleh peradaban masyarakat yang berimajinasi rendah dan memiliki daya artistik yang buruk.
Odong-odong adalah ramuan cerdas yang menarik sekaligus unik. Ia suatu waktu bisa dijadikan moda transportasi tanpa mengenal biaya trayek dan razia polisi. Di suatu kesempatan yang lain, odong-odong juga bisa menjelma menjadi hanya sebatas wahana permainan anak-anak balita yang lagi lucu-lucunya.
Dua fungsi itu menurut saya tak akan pernah mungkin terlahir dari manusia-manusia miskin kreativitas dan daya artistik.
Saya membayangkan, kelak akan ada moda transportasi grab odong-odong atau go odong-odong. Sebab apa yang tidak mungkin bagi manusia berdaya artistik tinggi seperti manusia-manusia Indonesia.
Terlebih manusia Indonesia sangat kreatif. Bahasa Arabnya kreatif itu adalah bid’ah. Jadi kalau ada seorang yang menuduh bahwa komunitas NU adalah ahli bid’ah maka sesungguhnya ia orang yang kreatif. Persoalannya, kamus Bahasa Indonesai kita tidak kreatif menerjemahkan bid’ah sehingga yang tercatat hanya makna yang sekarang disalah kaprahi yakni “membelokkan ajaran-ajaran agama”. Padahal sesungguhnya bid’ah adalah kreatifitas itu sendiri.
Lalu, terhadap orang yang kreatif, masak layak mereka kita kafir-kafirkan?
@annasaer