Kekerasan, ya kekerasan yang paling keras adalah kelembutan itu sendiri. Kalimat ini sepintas lalu mungkin sulit dipahami. Namun, ketika ditelaah lebih jauh dan sedikit menggunakan kejernihan fikran dan hati, maka kita akan bertemu dengan sebuah hikmah yang luar biasa.
Lebih mudahnya begini, kekerasan sejati adalah kelembutan itu sendiri. Sebab tatakala kita sudah mampu mengambil hati seseorang di sanalah sesungguhnya praktik kekerasan yang sejati itu menemukan persemaiannya. Anak-anak muda yang berhasil menaklukkan calon pasangan hidupnya sehingga pasangan hidup itu menyerahkan segenap jiwa dan raganya adalah bukti sahih bahwa sedang terjadi kekerasan di sana. Ya, kekerasan dengan jenis kelembutan. Aneh kan?
Justru keanehan ini yang tidak dipahami oleh sebagian kita. Kita kelewat keliru dan dangkal memaknai kekerasan. Kekerasan kita artikan cenderung dan identik hanya sebatas pada apa yang memiliki hubungan langsung dengan fisik semata. Padahal tidak. Kekerasan itu beraneka ragam sampai pada tataran paling tinggi yang berujud kelembutan itu sendiri.
Garakan-gerakan dakwah yang lebih memilih bahasa kekerasan, pada titik ini, saya berani menyimpulkan bahwa mereka gagal dalam memahami arti sebuah kekerasan. Saya berani bertaruh, jika mereka tidak gegabah mengecer teriakan “Allahu Akbar” sembari memegang pentung dan menghajar manusia-manusia yang mereka anggap kafir dan berseberangan dengan paham mereka, maka pasti mereka akan bertemu dengan sebuah hikmah akan arti termino-filosofis kekerasan itu sendiri.
Dakwah mbok ya dengan cara yang halus-halus saja. Sebab ya itu tadi, kekerasan sejati adalah berwujud kelembutan itu sendiri. Taklukkan hati manusia-manusia yang kau dakwahi, raih simpati mereka. Tidak perlu kau pukuli. Cukup tambahkan saldo-saldo kebaikan pada mereka sehingga kelak kau bisa panen simpati dan mereka dengan sendirinya tanpa kita suruh akan mengikuti kita. Di sanalah sesungguhnya anatomi kekersan sedang berjalan.
Jadi, kekerasan itu tidak melulu identik dengan hal-hal negatif dan destruktif. Kekerasan yang bersifat postif-konstruktif pun banyak. Bukankah kita mengenal beberapa gradasi dalam berdakwah di agama kita? Pertama, bil hikmah (dengan memberikan hikmah dan kebijaksanaan). Kedua, bilmauidzah hasanah (memberi wejangan yang halus), ketiga jadilhum billati hia ahsan (berdebatlah dengan tetap menjujung etika dan norma-norma yang baik).
Gradasi dakwah itu bukan main-main. Ia adalah rute sekaligus tahapan. Ia juga semacam pedoman. Idelanya gradasi itulah yang harus kita jadikan menjadi semacam panduan dalam berdakwah. Bukan asalah gebuk dan main hantam saja.
Saya sepakat dengan WS. Rendra, penyakit mayoritas kita, tentu saja termasuk penyakit mayoritas muslim di dunia, adalah sangat mudah dan terlampau gampang untuk terprovokasi laiknya rumput kering yang sangat mudah tersulut api.
Keadaan yang demikian itu, melahirkan tindakan-tindakan yang gegabah, reaksioner, sekaligus ceroboh. Kita selalu menganggap mereka yang berbeda dengan pemahaman kita adalah musuh. Musuh adalah mereka yang harus deperangi. Memerangi musuh adalah jihad. Begitu kira-kira nalar berfikirnya.
Dengan cara apa jihad itu ditempuh? Serang mereka, perangi mereka, bila perlu ledakkan bom bunuh diri. Mudah bukan?
Perancis adalah bukti sahih bahwa tragedi kemanusiaan itu bisa terjadi kapan saja, di mana saja sekaligus menimpa siapa saja. Kelakuan teroris yang selalu menjadikan agama sebagai tedeng aling-aling sampai kapanpun tidak akan pernah dibenarkan.
Mendapati kelakuan mereka yang mengaku memeluk agama namun selalu menebar teror dan mendam kebencian, saya jadi teringat penggalan sajak Joko Pinurbo yang berjudul “Pemeluk Agama”:
Benar kamu pemeluk agama?
Sungguh saya pemeluk agama, Tuhan
Tapi Aku melihat kamu tak pernah memeluk
Kamu malah menyegel, merusak, menjual agama
Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk
Benar kamu seorang pemeluk?
Sungguh saya belum memeluk, Tuhan
Tuhan memelukku dan berkata
Doamu tak akan cukup
Pergilah dan wartakanlah pelukanKu
Agama sedang kedinginan dan kesepian
dia merindukan pelukanmu.“
Sekali lagi, dalam konteks memaknai kekerasan ini, mestinya kita lebih arif dan sedikit bijaksana. Apalagi dalam berdakwah. Kita harus berperilaku lembut. Toh bukankah kalimat paling tengah di dalam deretan mushaf Al-Quran berbunyi wal-yatalattof yang artinya berlemah lembutlah?
Kelembutan pada banyak hal sesungguhnya sangat efektif untuk “mengeraskan”. Soal hal ini tanyakan pada pasangan pengantin baru. Dengan kelembutan sesuatu yang tertidur bisa dibangunkan sekaligus dikeraskan. Itu sunnatullah dan hukum alam. Wallahua’lam
@Farizalniezar