Tradisi santri adalah tradisi menertawai. Tradisi menertawai adalah tradisi yang menempatkan apa dan siapa saja sebagai sebauah fenomena yang membahagiakan. Tradisi yang seperti ini sesunguhnya tradisi yang sangat unik dan susah untuk dipraktikan dalam kehidupaun sehari-hari. Ia butuh keahlian khusus. Ia juga butuh kedewasaan mental yang sangat tinggi. Dan santri memiliki segala prasyarat tersebut.
Tradisi menertawai dalam bahasa pesantren acap disebut sebagai tradisi guyon dan gojlokan. Semakin karib hubungan seseorang, maka semakin “parah” kadar guyon dan gojlokannya. Ekspresi rasa cinta dan kedekatan antar santri kerap diungkapkan lewat seberapa “liberal” gaya guyonan mereka. Sebab mereka, para santri itu, menurut saya sangat memahami bahwa arti cinta dan dan kasih sayang adalah membuat sesame bisa tertawa dan bahagia. Di sanalah guyonan dan gojlokan itu menemui tujuan mulianya.
Tahun 1969, dua filsuf Jerman, Theodor Adorno dan juga Max Horkheimer memperkenalkan sebuah metode dalam disiplin psikologi yang mereka namai dengan dengan Reverse Psikology (psikologi terbalik). Metode ini sesungguhnya memanfaatkan emosi negative dalam diri manusia yang ada kenyatannya setiapotang memiliki kecenderungan untuk melawan arahan.
Nah, di sanalah sesungguhnya metode guyonan dan gojoklan itu menemukan momentumnya dalam rangka membentuk karakter dan individu yang tangguh dan kuat mental. Betapa santri, kita bisa lihat, ia bisa dan mau menjadi apapun asal tidak menjual harga diri.
Santri, meminjam Istilah dr. Soetomo, bisa hidup di mana-mana dengan bekal mentalitas yang jauh melebihi mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren sama sekali.
Gus Dur adalah contoh paling tepat dalam jatuh-menjatuhkan diri. Beliau adalah sosok yang mahir menertawakan apa saja di dalam dan di luar dirinya. Dampaknya, bisa kita saksikan, beliau adalah manusia yang memiliki kelapangan psikologi dan kematangan mental yang sangat luar biasa. Kelapangan psikologis dan kematangan mental itulah yang menjadikan beliau sebagai sosok yang tidak diragukan lagi akan penghargannya terhadap realitas pluralitas di Indonesia sehingga beliau digelarai sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.
Contoh sahih bahwa Gus Dur, yang juga bagian dari manusia yang dibentuk oleh tradisi santri, adalah sosok yang sangat pandai mentradisikan guyonan dan gojlokan bisa kita simak dalam sebuah cerita berikut ini:
Di sebuah forum pertemuan antar pemuka agama yang terdiri dari pemuka-pemuka agama: Kristen, Hindu, Budha dan juga Islam, Gus Dur tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik sekaligus mengagetkan.
“Bapak-bapak sekalian, diantara kita ini, agama siapa yang paling denkat dengan Tuhan?” Gus bertanya serius.
Bhiksu dari Budha menjwab khusu “Ya tentu agama kami dong Gus”
“Lho Kok Bisa?” Tanya Gus Dur.
“Lha iya to, Agama saya menyebut Tuhan dan mengaggilkan dengan sebutan Om….Om Shanti, Shanti-Shanti Om…. Mana ada hubungan yang lebih dekat dari om dan ponakan dalam berkeluarga?” Bhiksu Budha menjelaskan dengan sangat runtut.
“Lha ya ndak bisa, wong agama Kami memanggil Tuhan dengan sebutan Bapa Kok…Tuhan Bapa di Sorga, Berkatilah kami…… hubungan bapa dengan anak jauh lebih dekat dong dibandingkan om dengan ponakan…” Pendeta dari agama Kristen menjawab mantab.
Mendengar jawaban mereka bedua, Gus Dur tertawa terkekeh-kekeh. Seolah ada yang sedang ditertawakan secara serius.
“Kanapa kok tertawa Gus?” Tanya kedua pemuka agama.
“Memangnya kalau agama Gus Dur sedekat apa dengan Tuhan?”
“Hehehehehe boro-boro dekat dengan Tuhan, wong para pemeluk agama Islam saja kalau mau memannggil Tuhan harus menggunakan Toa,….itukan berarti Tuhan berada di tempat kejahuan sana…hehehehe”
Kontak mereka semua terkekeh ger-geran.
Demikianlah kita-kira kultur santri dengan tradisi guyonan dan gojlokannya. Sebuah tradisi yang sangat dewasa menurut hemat saya.
Azwar Anas
@Annasaer