Ngobrol soal pesantren, tentu saja tidak bisa dirampungkan dalam satu tulisan saja. Apalagi jika ditulis dengan cara serampangan. Sebab pesantren adalah teks hidup dan ia bergerak dinamik, sedinamik perubahan itu sendiri. Namun, tak mengapa, meskpun tidak genap, saya ingin mencoba berbagi sudut pandang saya ihwal pesantren. Anggap saja ini bagian dari udar rasa dan tahaddus bin ni’mah saya.
Saya beranggapan bahwa pesantren adalah ceruk kebudayaan utama di antara beberapa ceruk kebudayaan penting lainnya. Maksudnya pesantren adalah khazanah khas kebudayaan yang ada di Indonesia. Saya berani mengatakan demikian sebab Gus Dur sendiri pernah mengatakan bahwa pesantren adalah sebuah sub-kultur yang memiliki sistem tersendiri, mandiri, merdeka, dan juga terpisah dari sistem kemasyarakatan.
Bahasa sub-kultur memang terkesan terlampau akademik dan melangit. Untuk lebih mudahnya saya menyebutnya sebagai sistem kebudayaan yang mandiri. Artinya pesantren dengan segala piranti sistemiknya, mulai dari Kiai, santri, proses mengaji, kurikulum, dan juga pemondokannya memiliki sistem yang merdeka dan tersendiri di tengah-trengah kominitas masyarakatnya.
Dengan keadaan yang demikian, tentu saja pesantren memiliki sistem yang lengkap untuk membangun sejarah dan kebudayaannya sendiri. Kiai adalah supremasi simbolik tertinggi dalam dunia pesantren. Bagi yang pernah mengeyam tikar pesantren (bandingan untuk istilah mengenyam bangku sekolah ataupun kuliah) tentu saja mereka karib dengan adagium pejah gesang nderek Kiai, “Hidup mati, ikut titah Kiai”.
Dunia “pejah gesang nderek Kiai” adalah dunia yang mencerminkan bahwa, meminjam bahasanya Pierre Bourdieu, secara simbolik Kiai adalah supremasi tertinggi. Ia adalah simbol kealiman, kezuhudan, dan juga kewibawaan.
Namun, tunggu dulu, yang sering disalah artikan adalah pemakanaan atas kaidah pejah gesang nderek Kiai itu lebih dimaknai sebagai taklid buta. Takliad buta adalah keadaan ekatase yang sedemikian rupa disebabkan oleh fanatisme yang berlebihan sehingga menyebabkan yang bersangkutan membabi buta. Bukan, bukan sama sekali. Sebab dalam dunia pesantren, kita tahu bahwa ada aspek egalitarianisme yang disimbolkan dengan tradisi “mimbar akademik” bernama bathsul masail.
Bathsul masail adalah salah satu diantara sekian bukti bahwa pesantren menjadi atmosfir egalitarianisme. Semua boleh berpendapat, asal bertanggungjawab atas pendapatnya tersebut.
Jadi jelas, bahwa kaidah “pejah gesang nderek Kiai” itu memiliki segmentasi serta posisi yang jelas. Ia memiliki ruang dan waktu, bukan mutlak adanya. Sebab, sebagaimana kita tahu, Kiai-kiai di NU juga selalu memberi ruang dialogis ketika membicarakan hal-ihwal tetek bengek kehidupan, kecuali satu hal yakni soal akhlak, tata krama, dan juga budi pekerti. Di sanalah kaidah “pejah gesang nderek kiai” itu menemukan tempat persemaiannya.
Jadi jelas, kalangan yang menuduh bahwa pejah gesang nderek Kiai itu adalah kaidah yang regresif dan memandangnya sebagai sebuah kemuduran itu merupakan kesimpulan yang diambil dengan tergesa-gesa dan cenderung tidak arif lagi tidak bijaksana. Pandangan itu keliru dan tidak benar sama sekali.
Ala kulli hal, menurut saya, pejah gesang nderek Kiai tidaklah menjadi masalah dan persoalan besar, justru yang menjadi masalah dan persoalan bagi seorang santri adalah tatkala ia mengimani kaidah pejah gesang nderek bu nyai. Hehehe
Fariz Alniezar